Senin, 22 Juli 2013

Berseri-lah SELALU

"Ternyata orang berkerudung besar itu kemproh ya? Aroma rumahnya popok pesing plus berantakan. Nggak jadi ngajilah saya kalau gitu, jangan-jangan nanti saya ketularan!".

Komentar sinis dan nyinyir ini, dilontarkan seorang ibu ketika mendapati rumah tetangganya, yang rajin ngaji ke masjid, jauh dari berseri (bersih, sehat, rapi, indah). Sebenarnya si ibu itu tertarik mengikuti pengajian. Sebagai upaya penjajakan dan silaturrahmi ia coba berkunjung ke rumah salah satu peserta pengajian. Dan ternyata, ia mendapat kesan tak nyaman. la pun kecewa.

Memang penilaian ini terasa kurang adil, mengingat si ibu yang kecewa ini baru menyambangi satu rumah saja.

Tapi apa boleh buat, ternyata ia juga sering mendengar cerita miring tentang keseharian mereka yang berkerudung besar. Generalisasi "orang kerudung besar kemproh (jorok dan ceroboh) itu ia pakai, karena ia juga mengamati, tamu yang sering bertandang ke rumah tetangganya itu, umumnya juga berkerudung besar.

Ironis!

Kejadian di atas benar adanya. Tak perlu dipersoalkan generalisasinya, yang perlu diperhatikan justru bagaimana cap miring itu bisa muncul?

"Kebersihan sebagian dari iman" adalah sebaris pesan populer. Hampir tak ada yang tak mengenal pesan itu. Meski bukan hadits, isinya sejalan dengan hadits berikut: "Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Mahamulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu." (HR. Tirmizi)

 Jadi, bersih itu bagian dari sunnah. Lalu, mengapa para Muslimah berjilbab besar, salah satu kelompok yang paling semangat untuk kembali pada dan mengamalkan sunnah, justru bisa memperoleh cap kemproh? Mungkin berawal dari persepsi tentang bersih yang berbeda-beda. Standar bersih memang relatif bagi setiap orang. Menyapu lantai, misalnya. Sebagian um­mahat beranggapan lantai baru bersih bila seluruh permukaannya tersapu rata. Dari bawah kursi, ranjang, lemari, kulkas, mesin cuci (bila ada) sampai ke bawah rak piring. Tak ada yang luput.

Namun bagi sebagian yang lain, cukuplah jika menyapu yang tampak. Tak perlu "mengutik­utik dunia bawah" pun sudah dianggap bersih. Begitu pula mencuci baju, menyapu pekarangan, mencuci piring hingga urusan pribadi seperti menata baju di lemari hingga menjaga penampilan. Masing-masing punya "gaya" sendiri. Mungkin beda gaya dan standar bersih inilah yang membuat si ibu di awal kisah ini menjadi kecewa.

Dalam Islam, memang ditekankan soal thuhur (suci). Yaitu suci dari najis dan hadats. Hal ini menjadi syaratsahnya ibadah, khususnya ibadah mandhoh. Mungkin ummahat bisa membela diri dengan alasan kesibukan dan rewelnya anak-anak, tapi karena itu najis, maka tak bisa diabaikan. Kebiasaan peka pada kebersihan memang tak bisa diwujudkan seketika. Kebiasaan itu terbentuk sejak kita masih diasuh keluarga. Juga ada pengaruh dari  lingkungan.

Kebiasan peka pada kebersihan memang bukan hal yang dimiliki setiap orang. Namun bukan berarti, kita tak bisa menjadikannya sebagai bagian dari karakter. Manusia mem iliki segala kemampuan untuk berubah. Intinya ada pada tekad dalam diri kita. Masing-masing kita membawa identitas Muslimah, kekurangan kita bisa menjadi label buruk bagi Muslimah lain. Apalagi, bagi mereka yang masih asing, bahkan memusuhi, para aktivis Islam. Setiap kekurangan yang kita tampilkan akan membuka celah untuk menjatuhkan "izzah" sebagai Muslimah. Maka, berusahalah untuk selalu BERSE­RI

Sumber:  http://streamingnurisfm.blogspot.com

Dengki dan Dendam

Dalam Al-Quran Allah berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang di karuniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi seorang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah yang maha mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).

Dendam dalam bahasa Arab di sebut hiqid, ialah "Mengandung permusuhan didalam batin dan menanti-nanti waktu yang terbaik untuk melepaskan dendamnya, menunggu kesempatan yang tepat untuk membalas sakit hati dengan mencelakakan orang yang di dendami". Berbahagialah orang yang berlapang dada, berjiwa besar dan pema 'af. Tidak ada sesuatu yang menyenangkan dan menyegarkan pandangan mata seseorang, kecuali hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, bebas dari rasa kebingungan dan bebas dari rasa dendam yang senantiasa menggoda manusia. Seseorang yang hatinya bersih dan jiwanya sehat, ialah mereka yang apabila melihat sesuatu nikmat yang diperoleh orang lain, ia merasa senang dan merasakan karunia itu ada pula pada dirinya. Dan apabila ia melihat musibah yang menimpa seseorang hamba Allah, ia merasakan sedihnya dan mengharapkan kepada Allah untuk meringankan penderitaan dan mengampuni dosanya.

Demikianlah seorang muslim, hendaknya selalu hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, rela terhadap ketentuan Allah dan terhadap kehidupan. Jiwanya bebas dari perasaan dengki dan dendam. Karena perasaan dengki dan dendam itu merupakan penyakit hati, yang dapat merembeskan iman keluar dari hati, sebagaimana merembesnya zat cair dari wadah yang bocor. Islam sangat memperhatikan kebersihan hati karena hati yang penuh dengan noda-noda kotoran itu, dapat merusak amal sholeh, bahkan menghancurkannya. Sedang hati yang bersih, jernih dan bersinar itu dapat menyuburkan amal dan dorongan semangat untuk meningkatkan amal ibadah, dan Allah memberkahi dan memberikan segala kebaikan kepada orang yang hatinya bersih.

Oleh karena itu, jamaah muslimin yang sebenarnya, hendaknya jamaah yang terdiri dari orang-orang yang bersih jiwanya dan sehat hatinya, yang terdiri di atas saling cinta mencintai, saling kasih mengasihi, sayang menyayangi, yang merata, di atas pergaulan yang baik dan kerjasama yang saling menguntungkan timbal balik, di dalamnya tidak ada seorang yang untung sendiri, bahkan golongan yang semacam ini, sebagaimana di gambarkan dalam Al-Qur'an yang artinya: "Yang orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa 'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau maha penyantun lagi maha penyayang". (Al-Hasyr: 10).

Apabila rasa permusuhan telah tumbuh dengan suburnya, sampai berakar, dapat mengakibatkan hilangnya rasa kasih sayang dan hilangnya kasih sayang dapat mengakibatkan rusaknya perdamaian. Dan jika sudah sampai demikian, maka dapat menghilangkan keseimbangan yang pada mulanya menjurus kearah perbuatan dosa-dosa kecil, dan akhirnya dapat mengarah kepada dosa-dosa besar yang mengakibatkan turunnya kutukan Allah. Perasaan iri hati karena orang lain memperoleh nikmat kadangkala dapat menimbulkan khayalan yang bukan-bukan sampai membuat-buat kedustaan. Islam membenci perbuatan demikian dan memperingatkan jangan sampai terjerumus kedalamnya. Mencegah adanya ketegangan dan permusuhan, menurut Islam merupakan ibadah yang besar, sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya: "Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama dari puasa, shalat dan shadaqoh?, Jawab sahabat: "Tentu mau". Sabda Nabi saw: "yaitu mendamaikan di antara kamu, karena rusaknya perdamaian di antara kamu adalah menjadi pencukur yakni perusak agama". (HR. Abu Daud dan Turmudzi).

Syaitan kadangkala tidak mampu menggoda orang-orang pandai untuk menyembah berhala, tetapi syaitan sering juga mampu menggoda dan menyesatkan manusia, melalui celah-celah pergaulan dengan cara merusak perdamaian diantara mereka itu sendiri, sehingga dengan hawa nafsunya yang tidak terkendalikan, mereka tersesat dan tidak mengetahui hak-hak Tuhannya, bagaikan menyembah berhala. Di sinilah syaitan mulai menyalakan api permusuhan di hati manusia dan jika api permusuhan itu telah menyala, ia senang melihat api itu membakar manusia dari zaman ke zaman, sehingga turut terbakarnya hubungan dan segi-segi keutamaan manusia. Kita harus mengetahui bahwa manusia itu berbeda-beda tabiat dan wataknya, berbeda-beda kecerdasan akal dan daya tangkapnya. Karena itu dalam pergaulan dan pertemuan di lapangan kehidupan, kadangkala mereka membuat kesempatan yang mengakibatkan perselisihan dan permusuhan.

Maka Islam telah memberikan cara penanggulangan mensyari'atkan penepatan akhlak yang baik, yang membuat hati mereka luluh dan sarat berpegang kepada kasih sayang. Dan Islam melarang memutuskan hubungan dan berbantah-bantahan. Memang kita sering merasakan seolah-olah kejelekan itu dilemparkan kepada kita, sehingga kita sering tidak mampu mengendalikan perasaan dan kejengkelan kita, yang apabila fikiran kita sempit, maka timbullah niat untuk memutuskan hubungan dengan si pemeluknya. Tetapi Allah tidak rela perbuatan yang demikian. Memutuskan hubungan sesama muslim dilarang, sebagaimana sabda nabi saw yang artinya: "Janganlah kamu putus hubungan, belakang membelakangi, benci membenci, hasut menghasut. Hendaknya kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara satu sama yang lain (yang muslim) dan tidaklah halal bagi (setiap) muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari". (HR. Bukhori dan Muslim).

Dalam hadits ini dinyatakan batas tiga hari, karena pada waktu tiga hari kemarahan sudah bisa reda, setelah itu wajib bagi seorang muslim, untuk menyambung kembali hubungan tali persaudaraannya dengan saudara-saudaranya sesama muslim, dan membiasakan perilaku yang utama ini. Karena putusnya tali persaudaraan ini tak ubahnya seperti awan hitam atau mendung apabila telah di hembus angin, maka hilanglah mendungnya dan cuacapun menjadi bersih dan terang kembali.

Ringkasnya, hendaknya orang-orang yang mempunyai penyakit hati, seperti rasa dendam, iri hati, dan dengki selalu ingat bahwa kekuasaan Allah mengatasi segala kekuasaan. Dan hendaklah ia ingat, bahwa harta benda dan kedudukan yang bersifat duniawi itu selamanya tidak kekal. Paling jauh dan lama, sepanjang hidupnya saja, bahkan mungkin sebelum itu. Dalam Al-Quran Allah berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang di karuniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi seorang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah yang maha mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).

Sumber:  http://streamingnurisfm.blogspot.com