Rabu, 25 September 2013

Peranan Sabar Di Dalam Kehidupan

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yang senantiasa mencurahkan kepada kita nikmat dan bimbingan-Nya. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi Muhammad, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia. Amma ba’du.


Menjadi seorang muslim merupakan sebuah kebahagiaan yang sangat agung. Sebab dengan keislaman yang ada pada dirinya itulah Allah akan menerima amal dan ketaatannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan kelak di akhirat dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Oleh sebab itu seorang muslim akan berusaha untuk menjaga agama dan aqidahnya agar tidak rusak dan hanyut dalam gelombang kekafiran dan kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah kalian menggapai amal-amal sebelum datangnya berbagai fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita; pada pagi hari seorang masih beriman namun sore harinya berubah menjadi kafir, atau sore hari beriman namun keesokan harinya berubah menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah. Fitnah di dalam hidup ini beragam bentuknya. Hakikat fitnah itu adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya; dalam rangka membuktikan kebenaran iman dan ketulusan penghambaan mereka kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira dia ditinggalkan begitu saja mengatakan: Kami beriman, lalu mereka tidak diberikan ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah akan mengetahui orang-orang yang jujur dengan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-’Ankabut: 2-3)

Iman itu sendiri bisa mengalami penambahan dan pengurangan, peningkatan dan kemerosotan. Ia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena perbuatan kemaksiatan. Diantara perkara yang bisa memperkuat dan mengokohkan kembali iman adalah dengan merenungkan ayat-ayat Allah dan mengamalkannya di dalam sudut-sudut kehidupan kita. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanyalah orang-orang beriman itu adalah jika disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)

Para ulama menjelaskan, bahwa iman itu terdiri dari dua bagian. Sebagian berupa sabar, dan sebagian lagi berupa syukur. Sabar adalah menerima musibah yang menimpa dengan lapang dada, walaupun memang ia terasa pahit dan menyakitkan. Akan tetapi ingatlah bahwa musibah itu datang dari sisi Allah Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11)

Alqomah -seorang tabi’in- menafsirkan ayat ini, bahwa orang yang dimaksud adalah seorang yang tertimpa musibah lalu dia menyadari bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah, sehingga dia pun merasa ridha dan pasrah kepada kehendak Allah. Sehingga, dengan bersabar akan diperoleh pahala berlipat ganda. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan balasan pahala mereka tanpa ada perhitungan.” (QS. Az-Zumar: 10).

Sabar memang terasa pahit akan tetapi buahnya jauh lebih manis daripada madu; sebagaimana diungkapkan oleh sebagian ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya balasan yang besar bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan timpakan cobaan (musibah) kepada mereka.” (HR. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempa diri untuk sabar maka Allah akan jadikan dia penyabar. Dan tidaklah seorang diberikan suatu karunia yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Namun, sebenarnya sabar tidak hanya meliputi sabar ketika tertimpa musibah. Terdapat bentuk kesabaran yang lain, yaitu sabar di atas ketaatan dan sabar dalam menjauhkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan.

Ketika seorang hamba berusaha menuntut ilmu maka dia harus bersabar dalam menjalaninya. Demikian pula ketika dia berusaha mengamalkan ilmu yang telah dia dapatkan, pun dibutuhkan kesabaran. Tidak berhenti di situ, tatkala dia mendakwahkan ilmu dan kebenaran itu kepada orang lain pun dibutuhkan kesabaran. Sehingga sabar akan senantiasa mewarnai gerak langkah dan aktifitas ketaatannya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di atas jalan Kami maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridhoan Kami.” (QS. al-’Ankabut: 69). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seorang mujahid adalah orang yang berjuang mengendalikan nafsunya di atas ketaatan kepada Allah. Dan seorang muhajir/yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah.” (HR. Ahmad, disahihkan al-Albani)

Yang terpenting dalam melaksanakan ketaatan dan tidak boleh kita lupakan adalah hendaknya kita selalu membersihkan dan memurnikan niat kita untuk mencari wajah Allah saja, bukan untuk selain-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu diukur dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya akan mendapatkan balasan seperti apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sehingga seorang harus berjuang untuk menggapai keikhlasan dalam segala amal ibadahnya, ketika mengerjakan sholat, ketika berpuasa, ketika bersedekah, ketika berdakwah, ketika meninggalkan maksiat, dan lain sebagainya. Semuanya membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sabar itu cahaya yang panas.” (HR. Muslim). Sabar akan menerangi kehidupan kita, namun untuk mencapainya kita harus berjuang dan melawan berbagai keinginan nafsu dan ambisi-ambisi dunia yang rendah dan hina. Wallahul musta’aan.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Jenis sabar yang lain adalah sabar dalam menghindarkan diri dari maksiat. Sebagaimana kita ketahui bahwa hawa nafsu senantiasa mengajak kepada hal-hal yang buruk dan merusak kehidupan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya nafsu itu senantiasa mengajak kepada keburukan, kecuali yang dirahmati Rabbku.” (QS. Yusuf: 53).

Oleh sebab itu Allah ta’ala menjanjikan kepada orang yang merasa takut kepada Allah dan menahan dirinya dari memperturutkan kemauan hawa nafsunya dengan balasan surga. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun barangsiapa yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya serta menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya maka surga lah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naz’iat: 40-41)

Dari sini, kita menyadari bahwa sabar memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga keimanan seorang hamba. Baik sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menjalankan ketaatan, maupun sabar dalam menjauhi maksiat. Karenanya Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Sabar di dalam iman bagaikan kepala di dalam tubuh manusia.” Apabila kepala hilang maka hilang pula nyawa tubuh tersebut dan pada akhirnya tidak tersisa iman pada orang yang tidak memiliki kesabaran.

Semoga Allah ta’ala memberikan kepada kita kekuatan iman, sehingga kita bisa bersabar dalam menghadapi musibah, dalam menjalani ketaatan, dan menjauhi maksiat. Dan semoga Allah membantu kita untuk mewujudkan syukur kepada-Nya dengan hati, lisan, dan anggota badan kita. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, jika kalian bersyukur pasti Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur maka sesungguhnya azab-Ku teramat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber: http://abumushlih.com







Jual Beli Yang Terlarang

Perdagangan ataupun kegiatan yang berkaitan dengan jual beli lainnya seperti memproduksi suatu barang kebutuhan umat manusia, menerima jasa dan sebagainya bukanlah sebuah perbuatan yang dilarang oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya. Dan juga selama segala sesuatu yang di perjual-belikan itu bukanlah sesuatu yang bertentangan atau dilarang oleh Syariat Islam.

Jual Beli Ketika Panggilan Adzan

Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: Al Jumu’ah: 9).

Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “yang demikian itu”, yakni “perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya”. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jum’at adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Bertasbih kepada Alloh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Alloh, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Alloh memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Alloh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Alloh memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS: An-Nur: 36-38).

Jual Beli Untuk Kejahatan

Demikian juga Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan” (AL Maidah: 2)

Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata “Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah ketaТatan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan.”

Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim

Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisa’: 141).

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya” (shahih dalam Al Irwa’: 1268, Shahih Al Jami’: 2778)

Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya

Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembila.. Atau perkataan Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.” (Mutafaq alaihi).

Juga sabdanya, yang artinya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya” (Mutfaq Сalaih)Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan: Saya beli dengan harga sepuluh. Pada zaman ini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

Samsaran

Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota)”.

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: Tidak boleh menjadi Samsar baginya (yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi). Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Alloh” (HR: Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603)

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan. Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang.

Jual Beli dengan Сinah

Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara Сinah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara Сinah dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Alloh akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembali kepada agama kalian” (HR: Silsilah As Shahihah: 11, Shahih Abu Dawud: 2956) dan juga sabdanya, yang artinya: “Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli” (Hadits Dha’if, dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram: 13).
   
Sumber: http://fiqihislam.wordpress.com



Delapan Kebajikan

Banyak orang yang sadar bahwa baik itu hal yang mulia, kebaikan itu sesuatu yang patut dijunjung dan diapresiasi. Tapi, entah mengapa, masih banyak juga orang yang—disadari atau tidak, terpaksa atau tidak—lebih memilih jalan yang berlawanan dengan kebaikan.

Tak jarang, atas alasan tertentu, seseorang merasa telah berbuat benar. Padahal, apa yang dilakukan di mata orang lain adalah sesuatu yang jauh dari kebaikan. Alasan ekonomi misalnya, sering menjadikan nilai-nilai kebaikan terlihat kabur. Tentu, masih ada banyak faktor yang bisa diperdebatkan kemudian, sebanyak alasan yang juga mungkin bisa dibuat untuk membenarkan sebuah tindakan.

Terlepas dari itu semua, bagi saya pribadi, kesuksesan seseorang dalam hidup sejatinya banyak ditentukan oleh nilai-nilai kebaikan/kebajikan. Hal utama yang menjadi penyaring adalah baik, benar, halal. Indikator ini mudah dikenali oleh hati, pikiran, dan jiwa yang bersih.

Agar lebih jelas, dalam tulisan ini, saya akan menyampaikan “delapan sifat mulia kebajikan”. Hal ini penting untuk kita ingat, sadari, dan praktikkan:

1. Bakti
Ini merupakan sikap berbakti terhadap orangtua, leluhur, dan guru. Sepertinya sederhana, tapi kadang kita lupa. Padahal, merekalah orang-orang yang memang pantas kita berikan penghormatan mendalam. Sebab, dari mereka kita belajar banyak hal yang berguna untuk kehidupan. Dari mereka kita mendapat banyak bekal untuk meraih kesuksesan. Sikap berbakti ini akan membuat kita selalu ingat, bahwa ada banyak nilai-nilai luhur yang bisa kita jadikan pegangan untuk meraih kebahagiaan sebenarnya.

2. Persaudaraan
Ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berlaku hormat terhadap yang lebih tua sebagai saudara sehingga selalu mampu memunculkan sifat rendah hati. Rasa saling menghargai antar saudara akan menjadi “penyaring” bagi kita untuk tidak berbuat hal-hal yang kurang bernilai baik. Sebab, dengan menjaga persaudaraan, kita akan selalu ingat, bahwa setiap perbuatan yang baik—dan sebaliknya, kurang baik—juga akan berdampak langsung atau tidak langsung pada hubungan persaudaraan. Dengan begitu, kita akan selalu bisa menjaga amanah dalam segala tindakan.

3. Kesetiaan
Ini merupakan nilai kesetiaan terhadap atasan, teman, dan kerabat. Sikap ini akan membuat kita punya nilai karena kita mampu selalu berpegang teguh pada apa yang sudah diucapkan pada lingkungan sekitar. Sikap setia ini akan menjadikan kita selalu mengingat bahwa hidup ini tidak sendirian, sehingga kita selalu mampu menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup dengan sesama.

4. Dapat Dipercaya
Umumnya, orang yang dapat dipercaya akan mendapat banyak teman, relasi, bahkan pesaing yang menghormatinya. Karena itu, sikap dapat dipercaya yang dibuktikan dengan sifat dan sikap yang jujur, amanah, mampu memegang janji, dan berbagai kualitas mental positif lainnya, akan mengantarkan kita pada “pencapaian” hidup yang benar-benar berkualitas.

5. Susila
Ini merupakan nilai-nilai kepantasan yang harus kita pegang teguh dalam hidup bermasyarakat. Mulai dari menjauhi tindakan bersifat asusila, punya nilai bertata-krama yang baik, sikap sopan santun, berbudi pekerti luhur, dapat memperkuat integritas kita sebagai insan mulia yang punya nilai di mata masyarakat. Dalam hal ini, tentu kita sendiri yang bisa menjaganya.

6. Kebenaran
Ini merupakan sikap untuk senantiasa menjunjung tinggi kebenaran sejati atau suatu sifat solidaritas terhadap sesama. Bagi sebagian orang, nilai ini bisa jadi berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan. Namun, jika semua itu dikembalikan kepada hati nurani, pasti kita akan menemukan nilai kebenaran yang sejati. Sebab, pada dasarnya, kita sendiri sudah bisa menilai mana yang baik, mana yang buruk.

7. Sederhana
Sepertinya, sifat ini mudah dijalankan. Namun pada praktiknya, nilai sederhana yang diterapkan orang sangat berbeda-beda. Untuk itu, kita harus senantiasa berkaca dalam diri, sudah benarkah apa yang kita lakukan hari ini? Apakah nilai-nilai kesederhanaan yang telah kita jalankan, terutama agar hidup selalu berjalan harmonis dan seimbang di mata masyarakat dan lingkungan sekitar? Kita sendiri yang bisa menjalankan dan memilih melakukannya.

8. Tahu Malu
Budaya tahu malu ini sebenarnya akan menjadi penyaring utama dalam setiap tindakan agar hal yang kita lakukan pun menjadi lebih bernilai bagi sekitar.

Mari kita coba kembali berkaca. Kita telusuri dalam diri dan segera perbaiki, nilai-nilai kebajikan yang barang kali mulai luntur di antara kita. Tentunya, agar kita semua bisa meraih sukses dan kehidupan yang jauh lebih bermakna.

Sumber: http://www.andriewongso.com

Jumat, 06 September 2013

Tebarkan Abu Jenazahku ke Telaga

BAGAIMANA caraku menebar abu jenazah Steven ke telaga? Ia berwasiat, jauh sebelum buta matanya dan meninggal dunia, menghendaki abu jenazahnya ditaburkan ke telaga yang tak jauh dari rumahnya. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya? Telaga itu telah beberapa tahun ini dikeringkan. Telaga, yang diyakini orang-orang sekitar, tempat bidadari mandi, berubah menjadi hamparan lahan dipetak-petak. Selalu dikisahkan Steven saat mengail di telaga: bidadari turun dari lengkung pelangi untuk berendam dan bersenda gurau, saat dilihatnya gadis-gadis desa menceburkan diri dalam bening air, membasuh tubuhnya sehabis mencuci pakaian.

Hampir sepuluh tahun Steven tinggal di desa sunyi di tepi telaga. Ia mengikuti Karti, pembantu rumah tangganya yang kembali ke desa, ketika ia pensiun dari Kedutaan Besar Inggris di Ibu Kota. Lelaki yang aneh. Dia membeli rumah kayu di dekat telaga, tidak jauh dari rumah Karti. Hidup menyepi. Tinggal sendirian. Melukis dan mengail ke telaga.

Kukenal Steven ketika aku tengah mancing di tepi telaga. Lambat dan tanpa disadari, kabut memudar di bawah pohon joho tua. Kami duduk di atas akar yang melata. Lelaki bule itu mengail dengan tenang, suntuk, hampir tanpa gerak.

Ketika hangat cahaya matahari mulai memantul di atas permukaan telaga, Steven beranjak pulang, mengangguk ke arahku. Menenteng ikan-ikan menggelepar hasil pancingannya. Langkah kakinya ringan.

Suatu pagi, Steven mengundangku ke rumahnya. Kami minum teh di ruang tamunya yang luas. Lukisannya tentang ikan-ikan, bangau, pohon joho, dan ratu siluman penunggu telaga, dipamerkannya padaku. “Aku mencintai kesunyian desa ini. Ketika Karti bercerita tentang desanya di tepi telaga, aku ingin mengikutinya tinggal di sini. Ini desa yang menenteramkan. Kubeli rumah kayu ini, dan aku mulai terbiasa dengan suasana ketenteraman yang melingkupinya. Aku bisa melukis dan mancing dengan bergairah.”

Aku tak berani bertanya tentang keluarganya, sampai ia sendiri yang berkisah. “Istriku sudah meninggal. Dua anakku bekerja di Inggris sana. Aku ingin mati di sini. Aku ingin menjadi bagian dari ketenangan desa ini.”

***
BERHARI-HARI aku tak bersua Steven. Tiap pagi aku mengail sendirian, dan berharap lelaki bule itu akan menyusulku duduk di atas akar pohon joho tua. Meski kami tak berbincang-bincang, kehadirannya menenteramkan hatiku. Setidaknya aku, yang menikmati masa pensiun, dan kembali ke kampung halamanku, hidup berdua dengan istri yang sudah renta, menemukan pertautan rasa dengannya. Di desa ini ia tak memiliki kerabat dan keluarga. Atau baginya, tak diperlukan lagi kerabat dan keluarga?

Aku berangkat ke surau, melintasi jalan di depan rumah Steven, dengan rasa ingin mengetahui keadaannya. Mobilnya berada dalam garasi. Setangkup pintu kayu di pendapa rumahnya dibiarkan terbentang. Kesunyian menganga di dalamnya. Usai shalat subuh di surau, kembali melintasi depan rumah Steven, aku disambut Karti.

“Mampirlah ke rumah Tuan Steven,” pinta Karti, santun dan memohon. “Tuan dalam keadaan sakit.”

Duduk di ruang tamu, sendirian, dengan secangkir teh mengepul, sebatang rokok yang menyala di jari tangan kiri, Steven kelihatan layu. Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Tapi ia tak menyambut uluran tanganku.

“Tuan terserang diabetes. Matanya hampir buta,” kata Karti.

“Apa yang bisa kubantu untukmu?” desakku.

“Bawa aku ke tepi telaga. Kita mancing bersama!”

Kutuntun Steven ke tepi telaga. Kududukkan ia di akar pohon joho melata tempat kesukaannya. Kupasangkan umpan pada mata kail. Kulempar ke dalam air. Wajahnya memantulkan kesegaran air telaga. Sungguh aneh, tiap kali Steven melempar kail ke telaga, segera disambar ikan. Ia tertawa-tawa, mengangkat kail ikan yang menggelepar-gelepar, dan memintaku untuk memasang umpan baru. Ia memintaku untuk menemaninya makan siang dengan ikan bakar masakan Karti, yang katanya tiada tara. Dan kubawa pulang ikan bakar yang masih utuh.

Steven tak pernah mengeluh, dan tak menampakkan wajah yang murung. Ia berhenti melukis dan mengail di bawah pohon joho tua. Hingga suatu pagi, sepulang dari surau, dia sudah menantiku di pintu gerbang.

“Kau punya waktu mengantarku ke telaga?”

Tentu aku tak menolak permintaan Steven. Kuantar dia ke tepi telaga, di bawah pohon joho tua. Kutuntun ia sampai pohon joho, dan seperti mencari kenangan di antara akar yang melata dan bening air yang menggenang sebagaimana kebiasaan Steven. Aku mancing. Steven berdiam diri, merenung dalam ketenangan dan kesunyian telaga. Sepulang dari telaga, Steven merasa sangat berhutang budi padaku.

Steven tetap tampak bahagia. Meski tak bisa lagi melihat telaga. Tubuhnya memang kian lemah. Hingga aku tak pernah melihatnya di pintu gerbang rumahnya. Karti yang berkisah, Steven hanya terbaring di ranjangnya. Terkulai. Tak pernah lagi meninggalkan rumah. Ia telah melupakan kegemarannya pergi ke telaga untuk mengail ikan pada pagi berkabut.

Tiap subuh dini hari, sepulang dari surau, aku melihat Steven duduk di kursi rodanya di beranda. Menghadap pintu pagar rumahnya. Aku tak pernah bisa menduga, siapa yang dinantinya.

***
PERMUKAAN air telaga kian hari kian surut. Tanggul sungai telah dibobol orang-orang suruhan Lurah Ngarso. Air mengalir ke sungai kecil, dan membawa ikan-ikan di dalamnya. Kian surut telaga, kian kelihatan lumpur, katak, ular, dan ikan lele yang mencari genangan air. Mata air telaga ditimbuni dengan bebatuan. Tiap hari selalu datang orang-orang kekar suruhan Lurah Ngarso, yang menimbuni mata air telaga dengan batu-batu.

Mata air telaga masih mengucurkan air bening. Lurah Ngarso memerintahkan membuat parit kecil, yang mengalirkan air bening dari mata air ke sungai kecil yang gemericik airnya. Lumpur lembek kehitaman di dasar telaga dikeringkan terik kemarau, kini menghampar sebagai lahan, luas dan mulai diratakan. Tanah itu diukur, dipetak-petak, dan orang-orang dari perkotaan datang untuk memilikinya.

Usai shalat subuh di surau, ketika melewati rumah Steven, aku sudah dihadang Karti. Perempuan setengah baya itu memintaku untuk menemui Steven. “Kesehatannya memburuk, dan memerlukan teman bicara.”

Terbaring dengan tubuh lemah, Steven masih menampakkan wajah yang tenang. Tangannya dingin dan lunglai. “Aku harus berwasiat padamu. Bila aku mati, tebarkan abu jenazahku ke telaga.”

Aku tak bisa berkata tidak. Tapi bagaimana mungkin memperturutkan wasiat Steven? Telaga itu telah menjelma lahan-lahan kering, yang terpetak-petak, yang dimiliki juragan-juragan dari kota. Di tengah-tengah lahan itu dibuat taman, dengan batu besar yang dipahat serupa ikan gabus, dengan air mancur di sekelilingnya. Rumah-rumah baru mulai didirikan, jalan beraspal, kantor-kantor, toko, dan mobil-mobil mewah memasuki kawasan bekas telaga. Burung-burung yang dulu berkeliaran di atas telaga kini masih beterbangan di atas lahan, rumah, gedung, patung ikan gabus, dan pohon joho tua.

***
ABU jenazah Steven teronggok dalam guci terbungkus mori. Karti yang membawanya padaku. Diletakkan di atas meja. Tanpa berkata apa pun, aku sudah memahami kehendak Karti: memenuhi wasiat Steven, menebar abu jenazahnya ke telaga. Tapi mana mungkin?

“Kita tebar abu jenazah ini ke laut,” kataku. Sepasang mata Karti berbinar. Bersama beberapa orang yang mengenal Steven, kami berangkat ke pantai. Menyewa sebuah kapal. Berlayar ke laut. Ombak tenang. Laut tanpa pergolakan. Kapal berhenti di tengah laut. Aku memasukkan tangan ke dalam guci. Meraih abu jenazah Steven. Menaburkan ke laut. Abu jenazah tertebar dengan warna putih tulang. Karti menaburkan abu jenazah tuannya, dengan dada terguncang menahan sesak.

Terasa tiada habis-habis abu jenazah Steven ditaburkan ke laut. Tiap kali aku menggenggam abu warna putih tulang dan menebarkannya ke laut, kian memperpekat sosok lelaki sepi itu dalam pantulan gelombang. Kapal segera berputar mengitari kawasan taburan abu jenazah. Kami menebar kembang. Wajah Karti membeku. Ia tak lepas memandangi abu dan kelopak-kelopak bunga yang segera lenyap terhanyut gelombang kecil laut.

Karti menenteng guci abu jenazah Steven. Tidak diceburkannya ke dalam gelombang laut. “Biar guci ini kubawa pulang. Aku ingin memiliki kenangan tentang tuan.”

***
MASIH remang pagi ketika aku pulang shalat subuh dari surau, bersua Karti membawa guci tanah mendekati mata air telaga. Apa yang dilakukannya? Gerak-geriknya canggung. Ia seperti ingin menghindar dariku. Aku memilih diam, tak menegur, dan berjalan di belakangnya. Ia berhenti di bawah pohon joho, yang dari celah akarnya mengalir bening mata air.

“Masih kusisakan abu jenazah Tuan Steven. Akan kubuang ke mata air telaga,” kata Karti. Ia menghampiri mata air telaga yang bening. Menyingkap kain mori penutup guci. Menggenggam abu di dasar guci. Menebarkankannya. Larut dalam gemericik air, terhanyut ke parit dan mengucur ke sungai kecil. Wajahnya tampak bercahaya sewaktu mengosongkan isi guci tanah itu.

Tapi abu itu tidak keputihan. Abu hitam pekat. Tangan Karti berjelaga. Kemarin ketika kutaburkan abu jenazah Steven, terasa lembut keputihan.

Sepasang mataku menyelidik. “Ini bukan abu jenazah Steven!”

Tergagap, menunduk, Karti menghindari tatapanku. “Memang bukan. Ini abu lukisan tuan.”

“Kenapa kaubakar?”

“Aku malu. Ini lukisan tuan tentang aku yang mandi di telaga, di bawah pohon joho ini. Lukisan ini disimpannya dalam gudang, dan tak pernah diceritakan pada siapa pun.”

Tangan Karti yang berjelaga dibasuhnya ke dalam mata air yang mengalir. Ia menghanyutkan guci itu ke parit. Senyum perempuan itu rekah, seperti telah melepaskan beban batin yang dipendamnya.

Karti menjauh dari mata air. Abu yang dihanyutkannya tak selembut abu jenazah Steven yang keputihan. Kali ini yang ditebarkan ke aliran mata air tampak kehitaman, berjelaga, serupa abu kertas yang dibakar. Di bebatuan parit tersangkut serpihan kertas terbakar. Masih terbaca sebagian tulisan tangan Steven yang tak terbakar, kurangkai susah payah: kuwariskan seluruh kekayaanku pada warga desa….

Inikah surat wasiat Steven yang dibakar Karti? (*)

Sumber: http://lakonhidup.wordpress.com 

Poligami, Kebaikan Hati Nurani atau Hawa Nafsu?

Menyedihkan sekali, poligami dalam umat Islam dipahami secara dangkal. Al Quran surat An Nisa’ (surat keempat) ayat tiga tidak menjelaskan tentang kebolehan suami mengumbar nafsu kepada banyak istri dan kedzaliman kepada seorang istri, tapi tentang perlindungan terhadap gadis-gadis yatim piatu.
Ayat ketiga Surat An Nisa diterjemahkan sebagai berikut, “Dan, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kau miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” Di dalam ayat tersebut sudah ada penekanan di awal pada ‘perempuan yatim’ yang perlu kita bahas mendalam.
Ayat ini turun di saat Madinah kehilangan banyak laki-laki. Banyak sekali ayah yang meninggal setelah perang Uhud. Pada saat itu keluarga yang tidak punya ayah dan relasi dengan garis patrilinear lain, seperti paman atau kakek tidak akan bertahan dan kemungkinan besar akan berada dalam garis kemiskinan. Nabi sendiri termasuk pihak yang merasakan kondisi ini. Selama masih kecil beliau tidak punya ayah yang membuatnya sulit mendapatkan ibu susu, karena semua orang Arab Badui tahu, seorang yatim tidak akan menguntungkan untuk disusui, karena sang ibu tidak dapat memberikan harta yang banyak. Saat itu tidak lazim perempuan bekerja, dan harta dari perempuan (atau sang ibu) tidak berkembang banyak seperti harta suami.
Di sisi lain banyak gadis yatim yang punya warisan harta dari ayahnya yang meninggal pada perang Uhud di Madinah. Saat itu juga populasi laki-laki secara drastis menurun. Sebuah kota-pedesaan di padang pasir tidak bisa disamakan dengan kota modern di zaman sekarang. Apabila Madinah kalah perang, dan korban perang tersebut banyak, otomatis jumlah pemelihara perempuan, baik itu ayah atau suami menjadi sedikit. Inilah salah satu alasan pembolehan poligami, untuk menyediakan pelindung dan pemelihara kepada gadis yatim yang saat itu tidak punya ayah dan sulit mendapatkan suami, mengingat jumlah laki-laki menurun.
Ada juga kecenderungan laki-laki Arab saat itu untuk tidak menghargai perempuan. Beberapa praktik yang umum saat itu adalah seorang laki-laki dapat punya banyak istri selama dia mampu merawat mereka. Praktik ini dilakukan oleh Sailan bin Umayyah, dan Rasulullah bersabda kepadanya yang saat itu memiliki sepuluh istri, “Pilihlah dari mereka empat orang (istri) dan ceraikan selebihnya” (HR Imam Malik, An-Nasa’i, dan Ad-Daraquthni).
Kecenderungan lainnya adalah tidak adanya pemberian suami kepada istri yang benar-benar menjadi milik pribadi istri. Saat itu praktik pernikahan seperti praktik perdagangan perempuan di era modern. Seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan membayar ‘mahar’ bukan kepada sang istri, tetapi kepada wali (ayah, saudara laki-laki, paman, kakek, atau keluarga dari garis patriarkal dari sang calon istri).
Bayangkan, Anda seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang gadis, Anda tidak perlu mendekati gadis tersebut. Anda tinggal mendekati orangtuanya dan ‘menawarkan’ mahar yang cukup. Apa bedanya dengan perdagangan perempuan? Perempuan seperti dijual, dan pernikahan tidak berdasarkan keinginan merawat dan mencintai gadis tersebut, tetapi berdasarkan pada keinginan untuk memiliki gadis tersebut selayaknya properti.
Kemudian turun ayat keempat dari surat An Nisa’ sebagai lanjutan dari ayat tiga yang artinya, “Dan, berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Ayat ketiga dan keempat ini saling mendukung. Ayat keempat menjelaskan secara tegas makna dari mahar, yaitu ‘pemberian yang penuh kerelaan’ yang artinya seorang laki-laki harus memberikan sebagian hartanya sebagai simbol dari kemampuan dan komitmennya memelihara dan mencintai perempuan tersebut secara materi. Sang calon suami harus benar-benar rela memberikan mahar tersebut. Ayat ini juga menghapus praktik ‘perdagangan perempuan’ terselubung dalam praktik bangsa Arab saat itu. Semenjak ayat ini turun, muslim laki-laki tidak pernah lagi memberikan mahar kepada wali dari calon istri, tetapi langsung kepada sang calon istri.
Bangsa Arab saat itu begitu barbar, jahiliah, dan biadab, dan untuk itulah risalah turun di sana. Jangan bayangkan di zaman Nabi orang Arab begitu terhormat seperti orang Jawa, Sunda, Aceh, Minang, dan suku lain di Indonesia yang sudah mengembangkan etika dalam menikah. Hal ini diperparah pada para gadis yang sudah tidak punya wali akibat perang Uhud. Harta ayah mereka tidak dapat diwariskan secara penuh kepada mereka, dan mereka sendiri tidak dapat mengolahnya secara maksimal. Wanita yang mampu mengelola harta seperti Khadijah sangat jarang di Madinah saat itu.
Ada tren yang muncul setelah perang Uhud, banyak relasi dari sang ayah yang kemudian dipercayakan mengelola harta dari gadis-gadis yatim tersebut. Mereka tidak punya hubungan darah dengan sang gadis, dan apa yang terjadi kemudian, mereka berniat menikahi gadis tersebut tidak hanya untuk menambah istri, tetapi juga mendapatkan warisan dari harta ayahnya. Pemikiran materialistik seperti inilah yang menjadi tren saat itu, dan jelas pemikiran ini tidak akan mampu mensejahterakan gadis-gadis yatim tersebut.
Salah satu inti dari ayat ketiga ini justru terletak pada perlindungan dan sindiran akan praktik jahiliyah yang buruk di Arab, termasuk Madinah. “Dan, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat.” adalah bentuk perlindungan dan pengalihan perhatian dari laki-laki hidung belang dan materialistik untuk tidak menikahi perempuan yatim lagi. Mereka disindir dan dijauhkan dari praktik menikahi perawan kaya yang tidak punya wali tanpa harus memberikan mahar sepeserpun kepadanya.
Inti lainnya adalah juga tentang sindiran, “Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kau miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” Setelah Allah dalam firman-Nya menjauhkan laki-laki dari berpikir materialistik, Allah kemudian mengajak mereka mencintai satu orang istri saja. Allah tidak menganjurkan, “Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah tiga istri, karena tiga istri lebih mudah diurus ketimbang empat istri, atau jika terlalu banyak, nikahilah dua istri, karena lebih mudah diurus ketimbang tiga istri”. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini, Allah langsung menunjuk “nikahilah seorang saja”.
Sindiran ini dipahami seolah sebagai sebuah anjuran, bahkan perintah untuk berpoligami. Bagi seseorang yang sudah mempelajari fiqih, ayat ini tidak berada dalam level mengharamkan sekaligus mewajibkan atau mensunnahkan. Ayat ini adalah ayat persyaratan. Ada banyak praktik ibadah dalam Islam yang membutuhkan persyaratan, yang dikenal sebagai ‘syarat sah’. Contoh dari ketentuan syarat sah dalam al-Quran ada pada Surat Al-Maidah (5) ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Ada juga dalam ketentuan fiqih tentang adanya syarat sah seperti pada ayat thaharah atau membersihkan diri pada surat kelima, Al Maidah ayat 6 tersebut. Syarat sah ini menjadi wajib, apabila seorang muslim ingin melakukan sesuatu dan apabila tidak dilakukan, yang terjadi adalah praktik tersebut batal atau tidak diizinkan atau tidak diridhai oleh Allah. Apabila syarat thaharah ini tidak terlaksana, otomatis sholat seorang muslim akan batal dan tidak diterima Allah.
Begitu juga dalam poligami, surat An Nisa’ ayat ketiga dan keempat menunjukkan tentang syarat sah pernikahan, yang apabila kita urutkan dan daftarkan akan menjadi beberapa poin berikut:
  1. Pernikahan terhadap gadis yatim untuk mendapatkannya sebagai istri sekaligus mendapatkan hartanya harus berdasarkan pada keadilan. Jika seorang laki-laki terbesit rasa khawatir, baru terbesit rasa khawatir saja, belum melakukan ketidakadilan dalam mengelola hartanya dan cenderung memeras sang gadis yatim, praktik poligami sudah tidak sah.
  2. Pernikahan poligami harus berdasarkan pada keadilan. Jika seseorang terbesit rasa khawatir, baru terbesit rasa khawatir saja, bukan sudah melakukan ketidakadilan, maka praktik poligami sudah tidak sah.
  3. Tujuan dari segala pernikahan (juga kepada praktik Islam yang berhubungan dengan orang lain, seperti berdagang atau berpolitik) adalah untuk mencegah akan kezaliman. Jika sampai ada kezaliman dalam pernikahan poligami, maka akan datang dosa darinya.
  4. Mahar atau maskawin dalam pernikahan harus ada, atau pernikahan tersebut tidak sah, termasuk dalam pernikahan kepada gadis yang kaya dan dalam praktik poligami.
  5. Mahar menjadi milik istri, tidak boleh diminta kembali (pemberian yang penuh kerelaan). Halalnya mahar adalah saat istri memberikannya secara senang hati kepada suami (tidak hanya dengan terpaksa atau sekadar rela, tetapi juga dengan senang hati).
Poligami adalah salah satu praktik muamalah, atau praktik yang berhubungan tidak dengan Allah secara langsung, melainkan kepada manusia secara terlebih dahulu. Praktik muamalah harus menghindari kezaliman dari salah satu pihak kepada pihak lain. Zalim sendiri adalah pelanggaran hak atas diri sendiri maupun orang lain. Kezaliman hanya berdasarkan pada satu hal, yaitu mengikuti hawa nafsu yang tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya.
Tentu saja, tulisan ini hanya salah satu pendapat dalam poligami. Ada juga alasan lain yang dikemukakan beberapa laki-laki untuk membenarkan praktik poligami yang dilaksanakannya. Satu hal yang perlu diingat, kebanyakan istri Nabi yang beliau madu adalah janda (kecuali Aisyah binti Abu Bakar), seperti Saudah binti Zam’a, Hafsah binti Umar bin Khattab, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah, Zainab binti Jahsyi bin Royab, Juwairiyah binti Al-Harits, Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan, Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob, Maimunah binti Al- Harits, dan Mariah Al-Qibthiyah.
Dengan mengetahui berbagai syarat sah dari Al Quran tentang poligami, selayaknya kita tidak mengecam atau menganggap buruk orang yang menolak poligami. Seolah muslim atau muslimah yang menolak poligami adalah menolak ketentuan Allah. Hal ini malah sesuai dengan semangat Al Quran selama mereka mengemukakan argumen yang tepat bahwa poligami itu zalim dan tidak adil. Umat Islam tidak selayaknya berpikiran sempit dan memusuhi satu sama lain hanya karena perbedaan pendapat mengenai praktik yang memang penuh syarat ini.
Begitu juga sebaliknya, apabila seorang memang berniat baik dan punya argumentasi dan fakta yang kuat akan praktik poligaminya untuk menolong perempuan lain, sebaiknya kita tidak merusak hubungan rumah tangga mereka. Tentu saja praktik ini tidak dilakukan oleh pejabat yang menikahi gadis untuk kemudian diceraikan kembali secara tidak bertanggungjawab.
Saya ingin menutup perdebatan ini dengan ajakan untuk mengikuti hati nurani, bukan hawa nafsu. Orang bisa saja mengungkapkan alasan berpoligami yang valid, tetapi tidak ada yang tahu apakah orang tersebut berniat mengikuti hawa nafsu yang zalim atau hati nuraninya dalam menolong perempuan yang dijadikan istri kedua, ketiga, atau keempat. “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al Mu’minuun, 23: 71).
Referensi:
  1. Syaamil Al Quran terbitan PT Syaamil Cipta Media yang berdasarkan pada Al-Quran dan Terjemahannya edisi Departemen Agama tahun 2002, terbit pada 2004. Bandung: PT Syaamil Cipta Media
  2. Wawasan Al Quran: Pernikahan, Poligami dan Monogami, Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Isnet. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Nikah2.html, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.00
  3. Ayat Al Quran dan Hadist tentang Thaharah (Bersuci), anonim, Jurnal Darussalam Perumnas Unib. http://darussalambengkulu.wordpress.com/2012/03/29/ayat-al-quran-dan-hadist-tentang-thaharah-bersuci/, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.00
  4. Ayat Al Quran tentang Larangan Mengikuti Hawa Nafsu, Abu Umar, abuumar.multiply.com, http://abuumar.multiply.com/journal/item/86?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.17.
Oleh: Ahmad Tombak Al Ayyubi, Depok
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP UI
Anggota Al-Hikmah Reseach Center, Forum Studi Islam, FISIP UI

Sumber: http://www.fimadani.com

Heboh Spesies Ikan Bergigi Manusia….Ditemukan

Seorang pemancing di Amerika Serikat terkejut bukan kepalang ketika ikan yang berhasil ditangkap itu, malah mengigitnya kencang. Dia tentu saja menjerit dan setelah diperiksa gigi ikan ini mirip gigi manusia.
 
Seperti dilansir web.orange.co.uk edisi 24 September 2010, Frank Yarborough sedang memancing di Danau Wylie, South Carolina. Belum lama melempar kail, seekor ikan mengigit umpan lalu tersangkut.
Frank girang bukan kepalang karena ikan yang terjerat itu sungguh besar. Warnanya gelap dan memiliki berat sekitar 5 kilogram dengan panjang hampir setengah meter. Yarborough menduga itu adalah ikan lele.
Dia pun memasukkan tangannya ke dalam air untuk mengambil ikan tadi. Tetapi, dia merasa kaget dan menjerit karena didigit kencang seperti digigit manusia. Setelah diperiksa ikan itu memang rada langka. Diamemiliki gigi seperti gigi seri, geraham, dan taring seperti yang dimiliki manusia. Tidak seperti ikan di danau itu pada umumnya.
Ikan langka itu ditangkap dan dibawa pulang. Yarborough belum terpikir untuk menggorengnya. Hingga kini masih tersimpan di dalam lemari es.
Para ahli biologi percaya ikan itu mungkin dibesarkan dalam sebuah kolam yang eksotis. Robert Stroud, seorang ahli biologi perikanan air tawar Departemen Sumber Daya Alam di Carolina Selatan, telah mengkonfirmasi adanya sampel ikan itu. Sampel ikan itu telah dikirim untuk menentukan apa jenis spesies ikan misterius itu.
Stroud mengatakan kepada WBTV: “Mungkin ikan ini satu spesies dengan bawal, yang diduga berasal dari lembah Sungai Amazon Amerika Selatan. Jenis ikan ini cukup umum dalam lingkungan ikan hias.”
Bawal ini masih saudara dekat dengan ikan ganas di Sungai Amazon, Piranha. Piranha merupakan spesies ikan air hangat dan bukan asli Danau Wylie.
 
Sumber: http://teamjabal.wordpress.com

Rabu, 04 September 2013

Aku Dan Ibuku Menikahi Pria Yang Sama

Berbagi suami adalah hal yang biasa kita lihat di film. Tapi nyatanya hal itu benar terjadi di dunia nyata. Kita juga mengenal istilah poligami sebagai tanda berbagi suami yang sah. Bagaimana bila harus berbagi suami dengan ibu kandung kita sendiri? Aneh? Tapi inilah yang terjadi di Bangladesh.

Komunitas Mandi di Bangladesh memiliki tradisi unik yang menganut sistem kekerabatan matrilineal di mana perempuan menjadi pemimpin keluarga. Walaupun begitu mereka masih membutuhkan peran pria untuk melakukan pekerjaan berat. Hal ini akhirnya membuat tradisi ini memperbolehkan seorang pria boleh menikahi seorang ibu sekaligus anak perempuannya.

Dilansir oleh marieclaire Orola Dalbot yang kini sudah berumur 30 tahun tidak pernah menyangka kalau pria yang akan menjadi suaminya adalah suami dari ibu kandungnya. Hal ini terjadi karena ayah Orola meninggal saat ia kecil. Dan sang ibu harus segera menikah lagi tetapi dengan pria dari klan yang sama dengan mendiang ayahnya. Karena umur pria dari klan mendiang ayahnya yang lebih muda, ibu Orola diperbolehkan menikah asalkan juga menikahkan anak perempuannya sebagai istri kedua dengan pria muda calon suaminya. Hal ini dilakukan sebagai pengganti tugas saat istri pertama menjadi tua.

(c)marieclaire | Orola, 30 tahun dengan suaminya 42 tahun yang ia bagi sengan ibunya 51 tahun.
"Saya rasa ibu saya beruntung bisa mendapatkan suami sepertinya, ayah tiri saya adalah seorang yang rupawan dengan senyuman lebar,” demikian tutur Dalbot menceritakan tentang ayah tirinya dalam situs online MarieClaire.

Kekaguman Orola akan ayah tirinya berubah menjadi ketakutan. Awalnya ia ingin lari dari rumah tapi ia tak bisa meninggalkan ibunya. Apalagi dengan fakta kalau ia dinikahkan saat masih sangat kecil. Orola sendiri tak ingat bagaimana rupa dari pesta pernikahannya. Ia dinikahkan satu paket dengan pernikahan ibunya yang waktu itu berumur 25 tahun.

Kini Orola sudah menerima tradisi yang hampir punah dan dilarang oleh agama ini dengan damai. Sekarang ia adalah ibu dari tiga orang anak yang berusia 14 tahun dan 7 tahun dan seorang putri berusia 19 bulan hasil dari perkawinannya dengan ayah tirinya Noten. Mereka tinggal satu rumah kecil di mana mata pencahariannya adalah menjual minyak untuk memasak dan lilin. Selain itu mereka juga memiliki tanah kecil yang ditanami pisang dan nanas.

Ketika cinta tak bisa memilih maka aturan dunia yang akan menjalankannya. Mengharukan ya ladies? Beruntung kita masih bisa memilih untuk mencintai dan dicintai.

Sumber: http://www.vemale.com

Kiamat Benar Benar Sudah Dekat

1. Menggembungnya bulan 
Telah bersabda Rasulullah saw : ” di antara sudah mendekatnya kiamat ialah menggembungnya bulan sabit(awal bulan) ” dishahihkan AlBaani di Ash Shahihah nomor 2292 dalam riwayat yang lain dikatakan “di antara sudah dekatnya hari kiamat ialah bahwa orang akan melihat bulan sabit seperti sebelumnya, maka orang akan mengatakan satu bentuk darinya untuk dua malam dan masjid akan dijadikan tempat untuk jalan jalan serta meluasnya mati mendadak” (Ash Shahiihah AlBani 2292)

Menakjubkan! satu bulan sabit dihitung dua kali !!!, sekarang ummat islam hampir selalu bertengkar menentukan bulan sabit untuk ramadhan, syawal dan idhul adha .. antar ru’yat tidak sama cara melihatnya , antar hisab berbeda cara menghitungnya 
2. Tersebarnya banyak pasar 
Rasuluillah bersabda : “Kiamat hampir saja akan berdiri apabila sudah banyak perbuatan bohong, masa(waktu) akan terasa cepat dan pasar pasar akan berdekatan (karena saking banyaknya)” (sahih Ibnu Hibban)
Lihatlah sekarang, pasar ada dimana mana, mall semakin banyak, supermarket di mana mana
3. Wanita ikut bekerja seperti laki laki 
Rasulullah bersabda : “pada pintu gerbang kiamat orang2 hanya akan mengucapkan salam kepada orang yang khusus(dikenal) saja dan berkembangnya perniagaan sehingga wanita ikut seperti suaminya (bekerja/berdagang) ” Hadist Shahih lighairihi Ahmad
Sekarang karena alasan emansipasi, wanita banyak yang bekerja menggantikan lelaki, semua pekerjaan lelaki diserobot oleh pesona wanita, hingga lelaki yang tak mempunyai sifat keibuan, mendidik anak dengan sifat egois, alhasil semua sektor makin semrawut, banyak pekerjaan yang tumpang tindih dan tak tertangani
4. Banyaknya Polisi 
Rasululah bersabda : “bersegeralah kamu melakukan amal shalih sebelum datang 6 perkara : pemerintahan orang orang jahil, banyaknya polisi, penjual belian HUKUM atau JABATAN, memandang remeh terhadap darah, pemutusan silaturrahim, adanya manusia yang menjadikan al qir’an sebagai seruling dimana mereka menunjuk seorang imam untuk sholat jamaah agar ia dapat menyaksikan keindahannya dalam membaca Al QUr’an meskipun ia paling sedikit ke-Faqihannya. ” Musnad Ahmad, At Thabrani, Ash Shaihhah AlBani 979
5. Manusia akan bermegah megah dalam membangun masjid 
Rasulullah bersabda “tidak akan beridir kiamat hingga mansia berbangga bangga dengan masjid” (hadist sahih musnad Ahmad3:134,145, An Nasa’i 2:32, Abu Dawud 449,Ibnu Majah 779) padahal rasulullah dilain tempat berkata “saya tidak diutus untuk menjulangkan masjid masjid” (sahih sunan abu dawud:448)
6. Menjadi pengikut tradisi Yahudi dan Nasrani
Telah berkata rasulullah : “Sungguh kamu akan mengikuti jalan hidup orang orang sebelum kamu,sejengkal demi sejengkal , sehasta demi sehasta (tanpa berbeda sedikitpun) sehingga walaupun mereka masuk ke lubang biawak, maka kamu akan masuk juga” Sahabat bertanya : wahai rasulullah, apakah kaum yang akan kami ikuti tersebut adalah kaum Yahudi dan Nasrani ?, maka Nabi menjawab : Siapa Lagi (kalau bukan mereka) ?
Bencana penghujung umat, ummat yang nota bene mengaku islam sebagai agamanya justru sudah menjadi pengikut barat nomor satu, peringatan tahun baru, valentin day, peringatan ulang tahun, pengagum demokrasi, HAM, hukum positif dan sebagainya. Sungguh ini hanya bisa dibaca oleh orang yang bukan sekedar berakal, tetapi betul betul mempergunakan akalnya itu.
7. Irak Diboikot dan Makanan Ditahan Darinya 
Rasulullah bersabda : “hampir saja tidak boleh dibawa makanan ke negeri Irak secupak(qafizh) makanan atau sebuah dirham, kami(sahabat) bertanya Orang orang ajam (non arab) kah yang melakukan ini ? kemudian beliau berkata : “hampir saja tidak dibawa makanan atau sebuah dinar kepada penduduk syam (palestina, syiria ,libanon ,yordan dan sekitarnya) kemudian sahabat bertanya “siapa yang melakukan itu ya rasulullah ? ” orang orang RUM(Romawi : Amerika-Eropa)
Sebenarnya ini adalah tanda yang paling menakjubkan, karena sampai sekarang irak telah diboikot oleh Amerika semenjak perang teluk dan syam telah menderita kekuarangan makanan, palestina di jajah israel yahudi dan setelah terkepungnya irak dan syam ini akhirnya setelah terjadinya peperangan dhasyat di PALESTINA maka akan muncullah tanda tanda besar kiamat berupa munculnya Imam Mahdi, Keluarnya Dajjal dan turunnya Isa Al Masih
8. Turki akan memerangi Irak 
Rasulullah bersabda : “sekelompok manusia dari ummatku akan turun di suatu dataran rendah yang mereka namakan dengan Bashrah pada tepi suatu sungai yang bernama Dajlah. Dan apabila telah datang akhir zaman datangkah Bani Qanthura (mereka adalah orang orang turki) yang bermuka lebar dan bermata kecil sehingga mereka turun pada tepi sungai itu, maka terpecahlah penduduknya menjadi 3 kelompok, yang satu sibuk mengikuti ekor ekor sapi mereka(sibuk mengurusi harta benda) dan mereka akan hancur, dan satu kelompok dari mereka akan memperhatikan diri mereka sendiri dan mereka itu telah kafir, dan satu kelompok dari mereka akan menjadikan anak cucu mereka di belakang mereka kemudian mereka berperang, itulah para syuhada” (hadits hasan diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud(4138)
Pada bulan mei 1997 dahulu orang orang turki telah mulai memancing mancing permusuhan dengan irak dan mereka membangkitkan masalah masalah yang dibuat buat sekitar masalah air di sungai Eufrat dan orang orang turki itu membuat kesepakatan dengan orang orang israel dan amerika dan melakukan latihan militer bersama dengan tujuan penyerangan irak, iran dan syiria, dan waktu itu juga Turki menyerang bagian irak utara dengan alasan untuk menghajar suku kurdi .. kita tunggu saja apa yang akan terjadi nanti ..
9. Bumi Arab Akan Kembali Menjadi Kebun dan Sungai 
Telah bersabda rasulullah : “tidak akan berdiri hari kiamat hingga harta aakan banyak melimpah dan sehingga bumi arab kembali menjadi kebun kebun dan sungai sungai ” (Ahmad dan Muslim)
Dan negeri arab saat ini telah menjadi kebun !! dan banyak nya sungai .. didaerah tha’if bahkan telah turun butiran es dan musim haji kemarin susuhu dingin kira kira 5 derajat celcius … tidak lagi panas
10. Peperangan dengan Yahudi 
Rasulullah Bersabda: “tidak terjadi kiamat hingga oranng orang berperagn dengan Yahudi, dan orang orang Yahudi bersembunyi dibawah batu dan pohon, lalu batu dan pohon itu berkata kepada orang orang islam ” di sini ada Yahudi, maka bunuhlah ia” (Fathul Bari’, Al Manaqib, Al Hafiz Ibnu Hajar)
Sumber: http://teamjabal.wordpress.com