Minggu, 11 November 2012

Langitpun Menangis Untukmu

"Berapa jam yang telah kita habiskan dari waktu kita duduk didepan komputer, notebook, netbook, blackberry dalam sehari?
Coba dihitung, jika satu hari 24 jam, dan kita  tidur sekitar 6-8 jam, berarti tinggal 16-18 jam waktu yang bisa kita manfaatkan.
Dan coba bandingkan, berapa menit yang kita lalui dari 16-18 jam itu untuk bersama-NYA? Jika kita hanya menghabiskan 5 menit tiap shalat, berarti sehari hanya 25 menit.
Jika ditambah shalat sunat 5 menit lagi, maka 30 menit. Bayangkan! Hanya 30 menit dari 16-18 jam saat sadar kita. Betapa tidak adilnya kita pada usia kita yang kita cintai seakan kita akan hidup selamanya."

Kata-kata Andita itu masih terngiang ditelingaku. Kami berempat adalah teman akrab sejak kuliah. Teman-teman menyebut kami si manis manja  group. Tapi meskipun diberi julukan manis manja group, tidak ada yang manja diantara kami.

Soraya gadis tercantik diantara kami, masih keturunan Mesir. Kulitnya yang putih, tinggi langsing, dengan rambut yang bergelombang panjang, pantas menjadikannya foto model. Tapi Soraya minta ampun juteknya, sangat cerewet dan perfeksionis. Dia rajin membaca, tapi sebenarnya tingkat kecerdasannya tidak tinggi amat, karena jika tidak belajar, dia benar-benar seperti katak dalam tempurung, hah? hoh? ooohhh gitu?

Andita, berwajah manis, bulat, putih, wajahnya khas sekali seperti wanita jawa, seperti Ibu Kartini. Namun rambutnya pendek, tomboy, tingginya sedang, cukup berisi tubuhnya, karena rajin naik gunung, dan main basket. Sebenarnya dia paling cerdas, jarang belajar, tapi selalu cum laude. Kalau menjelaskan tentang sesuatu sangat detail, dan senang menganalisa segala sesuatu.

Karin, cantik, lembut, berkulit ecoklatan, tampangnya mirip-mirip gadis amerika latin yang sensual. Banyak penggemar, karena rajin tebar pesona. Suka cuek, dan jarang belajar. Karena cowok-cowok akan datang dan berebut untuk mengajarkan tentang mata kuliah sesuatu untuknya. Dan aku tahu, sebenarnya Karin sudah mengerti, karena dia cukup cerdas, tapi wajahnya yang selalu seakan-akan polos dan belum mengerti, membuat senang para cowok itu yang merasa menjadi superior di depan Karin.

Aku sendiri, bernama Jelita, padahal aku sama sekali tidak merasa jelita. Sehingga aku sering protes pada orang tuaku kenapa aku diberi nama Jelita. Padahal aku bertampang paling biasa-biasa saja, diantara kami berempat. Mataku memang kecoklatan, karena ayahku bermata coklat. Tapi kulitku juga kecoklatan cenderung gelap. Tulang pipiku tinggi, dan hidungku tidak terlalu mancung. Yang membuat wajahku agak unik adalah karena kedua bola mataku berjarak agak jauh dibanding kebanyakan orang, dan alis mataku agak tebal, sehingga semua teman mengatakan wajahku sangat spesial dan berkarakter.
Aku lumayan cerdas, kalau diranking dari kami berempat, aku dibawah Andita. Meskipun aku tidak pernah cum laude seperti Andita, tapi aku cukup terkenal, karena paling suka berorganisasi.

Persahabatan kami tidak pernah putus meskipun kami sudah selesai kuliah sejak 10 tahun lalu.
Soraya memutuskan menjadi dokter spesialis kulit, dan sekarang dia menjadi salah satu dokter kebanggaan Fancy clinic, klinik kecantikan yang terkenal di ibukota. Dia sudah menikah dengan pengusaha terkenal, tapi menolak punya anak, karena katanya akan mengganggu bentuk tubuhnya yang sudah meawan.
Andita menghilang, dan hanya menjadi dokter umum, padahal dulu dia yang paling cerdas. Sejak 5 tahun lalu dia ikut suaminya tugas ke Malaysia, anaknya 5!
Karin, justru yang belum menikah. Padahal dulu yang paling sering gonta ganti pacar adalah Karin. Dia menikmati jadi dokter spesialis Obstetri Ginekologi. Kesibukannya membuatnya tidak lagi tertarik untuk hidup berbagi rupanya.
Aku, hanya mengambil S2 manajemen RS,  tidak meneruskan spesialis, karena malas jaga malam. Suamiku seorang dokter bedah yang cukup sibuk, sehingga aku memutuskan untuk lebih punya waktu banyak dengan  anak-anakku yang berjumlah 2 orang.

Setelah lulus, kami rajin bertemu 3 bulan sekali, kemudian 6 bulan sekali, lama-lama setahun sekali. Dan sekarang sejak Andita ke Malaysia, kami juga tidak pernah kumpul-kumpul lagi.
Dan sebulan lalu, tiba-tiba Andita muncul di Jakarta dan mengajak bertemu. Meskipun aku bertiga dengan Soraya dan Karin, jarang bertemu spesial, tapi pada even-even tertentu, seperti kongres atau reuni angkatan kecil-kecilan, masih suka bertemu.

Andita begitu berubah, dia begitu cantik dengan jilbab panjangnya, bajunya gamis coklat. Warna kesayangannya. Kami terkejut melihatnya berubah. Dia yang paling tomboy bisa berubah seperti ini, dan punya anak 5. Dia yang paling cerdas, memutuskan hanya menjadi dokter umum, dan tidak mengambil spesialisasi.
Aku tertegun. Soraya langsung protes, "Ngapain sih pake jubah kayak gitu, Ta? gak modis tahu?!"
Karin dengan santainya, berujar "Kesambet dimana Ta? Malaysia? Hati-hati lho jangan ikut-ikutan kelompok macem-macem, ntar ditangkep"
Andita hanya tersenyum manis, "Memang kenapa dengan bajuku? aneh?"

Masalah itu kemudian tidak menjadi topik utama, karena kami demikian rindu padanya. Kami saling bercanda, bernostalgia. Tapi memang tidak sepenuhnya konsentrasi. Soraya asyik dengan netbooknya dan chatting entah dengan pria mana lagi. Aku sendiri bolak balik buka blackberry karena RS tempatku bekerja sedang akreditasi.
Andita mengalah, ketika kami sedang asyik dengan dunia kami.

Dan tiba-tiba pertanyaan itu mengemuka, "Cintakah kalian pada usia kalian?" tanya Andita.
Kami serempak bertanya, "Kenapa sih?"
"Aku cuma melihat teknologi, ternyata membuat kita menjadi berjarak. Padahal justru teknologi membuat komunikasi kita menjadi unlimted," dia menghela nafas.
"Berapa jam kita menghabiskan waktu kita untuk dunia, dan berapa menit kita menghabiskan waktu kita untuk bersamaNYA?"

Kami terdiam, aku menghitung dalam seminggu ini aku sudah 3x tidak shalat subuh karena kesiangan.
"Apa sih tujuan kita hidup didunia ini? menjadi dokter adalah anugerah terindah, karena tanpa mengeluarkan biaya, modal, asal ikhlas, kita sudah beribadah  menolong orang lain. Betapa sayangnya, amal ibadah horizontal ini, tidak diikuti ibadah vertikal kepadaNYA? Apa yang kita lakukan saat terjaga? kemana larinya hati jika sendiri?
Apakah jika ada cobaan saja kita baru ingat padaNYA?"
Dia melanjutkan, "Pada saat kita ke pemakaman, apa yang terlintas di kepala? sekedar sedih 1-2 jam, kemudian asyik lagi dengan dunia kita. Tidakkah kita berfikir, bahwa kita akan menyusul kelak? Terbaring sendiri menyatu dengan tanah, tidak ada suami, anak-anak, orang tua, sahabat, hanya amal kita yang menemani."

Hari itu diakhiri dengan renungan indah dari Andita, yang cukup menyentak nurani kami. Ya, berapa menit untukNYA, dan berapa belas jam untuk dunia?
Aku bisa seharian chatting di facebook, milis, daripada ngajarin anak-anak belajar. Padahal pelajaran Tahfidz anakku menurun semester ini. Aku memasukkannya ke sekolah islamic internasional, karena aku tidak mau repot ngajar dia sholat dan mengaji.

Tapi, beberapa hari kemudian aku kembali disibukkan dengan pekerjaanku sebagai direktur pelayanan medik, RS terkenal, mahal, hebat dan Megah di Jakarta. Renungan indah dari Andita pun menguap seperti embun yang hilang ketika sinar matahari tiba.

*********
Pagi ini aku bagaikan mendengar petir disiang bolong, ketika telepon Soraya dengan isak tangisnya menyerbu pagi, dan membuatku harus mencubit tanganku berulang kali untuk meyakinkanku bahwa ini bukan mimpi.
"Kamu kemana aja semalam? aku telepon tidak diangkat, telepon ke rumah tidak ada. Suamimu pun tidak ada dan tidak angkat telepon. Aku sekarang di Jogja, di RS PKU Muhamadiyah. Andita masuk ICU, sudah tidak sadar. Dari semalam aku sudah disini bersama Karin."

Aku segera terbang ke Jogja, dan sepanjang perjalanan airmataku tidak bisa berhenti menetes. aku, si cengeng Jelita, yang selalu sangat sensitif. Aku masih ingat ketika aku dipaksa memutuskan cintaku oleh Soraya dan Karin, karen kekasihku selingkuh, aku menangis selama 2 hari 2 malam. Ditemani 3 sahabatku. Soraya dan Karin, mengatakan betapa bodohnya aku menangisi laki-laki yang tidak pantas. Hanya Andita yang membelai rambutku dan mengatakan, "Allah sayang sekali pada kalian, sehingga menjaga kalian untuk terhindar dari dosa yang mungkin bisa saja terjadi dalam hubungan kalian. Engkau adalah sahabatku yang cantik dan baik hati, Rangga juga pemuda yang baik hati.
Tapi Allah punya simpanan buat kalian masing-masing nanti, jodoh yang terbaik untuk kalian berdua. Kalau ternyata Rangga adalah jodohmu, pasti kalian akan dipertemuka lagi, dalam ikatan yang lebih di ridhoiNYA."

Ah Andita...
Sudah setahun ini engkau tinggal di Jogja, dipesisir gunung kidul menjadi dokter umum di daerah yang gersang, kering dan miskin, tapi kami sama sekali tidak tahu.
Dan sebulan lalu saat pertemuan kita yang terakhir, kami sama sekali tidak menanyakan apa yang terjadi padamu selama 5 tahun ini, tinggal  dimana sekarang, apa kabar anak-anakmu, dan kenapa tubuhmu sangat kurus. Kami malah asyik bercerita tentang kehidupan kami masing-masing selama 5 tahun ini. Soraya asyik bercerita dengan pasiennya yang sangat banyak dan rela antri untuk menunggu 3 minggu sekedar ingin berkonsultasi tentang jerawat dipipinya.
Karin asyik menceritakan bahwa dia sekarang menjadi salah satu dari 4 ahli spesialis wanita yang mendalami endokrinologi reproduksi, bayi tabung, yang menjadi kebanggan negeri ini, yang sering dipanggil untuk berbicara di forum internasional, yang bertangan dingin, dan banyak pasangan yang berhasil memiliki keturunan karena berobat padanya.
Dan aku ahli marketing RS yang selalu mempunyai ide original dan innovatif, yang diperebutkan oleh manajemen Rumah Sakit-Rumah Sakit terkenal.
Kami sama sekali tidak bertanya apapun tentang dirimu!
Seperti biasanya engkau hanya menjadi pendengar yang baik, tersenyum dan melontarkan kalimat-kalimat yang menyejukkan hati.

Aku mendapatinya, terbaring tidak sadar, dengan wajah putihnya yang sekarang tampak tirus, dengan ventilator untuk membantu pernafasan dan jantungnya.
Kenapa Andita? aku menangis dan memelukmu, ada apa sahabatku?
Soraya kehilangan sifat perfeksionismenya, dia tampak pucat, tidak berdandan, dia terus membaca Yasin. Karin duduk, diam ditepi tempat tidur Andita, wajahnya mendung penuh duka, dia memeluk si kembar Laila dan Laili, bungsu dari Andita yang baru berusia 2 tahun.
Suami Andita memeluk kaki Andita dan terus menangis.

Kedua orang tua Andita yang sudah tampak renta terlihat tegar dan membacakan Yasin di ujung tempat tidur.
Andita terlahir dari keluarga sederhana di Bantul, Jogjakarta. Kedua orang tuanya guru SD. Dia anak pertama dari 7 bersaudara. Dia berusaha menjadi contoh buat adik-adiknya. Masa SMP dan SMAnya di kota Jogja, dan setiap pagi dan petang, dia mengayuh sepedanya puluhan kilometer untuk menuntut ilmu.
Kecerdasannya mengirimnya ke sekolah kedokteran di Jakarta dengan beasiswa.
Meskipun dari daerah, dan bahasa jawanya sangat kental, dia tidak pernah minder. Kami semua menyayanginya. Dia menyukai alam, dan sering bepergian naik gunung. Tidak banyak bicara, tapi sekali bicara, begitu tenang dan menyejukkan.
Selama kami bersahabat, 3x kami pergi ke rumahnya di desa untuk berlibur. Keluarganya sangat sederhana dan penuh keikhlasan. Sambil kuliah dia  masih sempat bekerja menterjemahkan buku-buku bahasa Inggris untuk kedokteran, dan kadang-kadang memberikan les inggris untuk anak-anak SD dan SMP. Uangnya dikirimkan untuk sekolah adik-adiknya.

Soraya bercerita sambil terisak diluar kamar, kami berpelukan dan tidak berhenti menangis.
2,5 tahun lalu saat hamil si bungsu kembar, dia terkena kanker payudara. Seharusnya kandungannya digugurkan, karena akan mempengaruhi progresivitas dari kanker payudaranya. Tapi Andita menolak dan memilih meneruskan kehamilannya. Setelah bungsunya lahir, dilakukan operasi pada payudaranya, namun stadiumnya sudah terlanjur memburuk.
Kemotherapinya sudah selesai. Setahun lalu, suaminya minta izin untuk menikah lagi. Andita mengabulkannya, dengan syarat dia ingin pulang ke Indonesia membawa anak-anaknya. Suaminya mengizinkan Andita pulang. Andita memilih untuk berpisah karena khawatir dia tidak lagi bisa ikhlas melayani suaminya.
Dia merawat kelima anaknya di desa, menjadi dokter umum, pasiennya boleh bayar jika mampu, tidak bayarpun tidak apa-apa.
3 bulan lalu, sakit kepala yang terus menderanya, membawanya kembali pada kenyataan bahwa sudah terjadi metastasis ke otak.
Dan kami, yang mengaku sahabat terbaiknya, sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padanya.

Sebulan lalu dia datang menemui kami, sebenarnya ingin mengatakan bahwa dia kesulitan keuangan untuk operasi, terjadi beberapa opini yang berbeda dari dokter bedah syaraf di Jogja, sebagian mengatakan tumor primer, sebagian mengatakan metastasis. Sehingga ada yang menganjurkan untuk operasi, ada yang mengatakan hanya perlu di kemotherapi ulang.
Tapi dia tidak sanggup mengatakannya pada kami. Adiknya mengatakan dia pulang dengan tangan hampa namun tersenyum, "aku tidak mengganggu kebahagiaan sahabat-sahabatku dengan ceritaku dan kesulitanku."

Aku menyesali kebodohanku, padahal pertanyaan itu sudah diujung lidahku, "kenapa sekarang kamu kurus sekali, Dita?" tapi aku tidak bertanya dan malah asyik kembali bercerita.
Betapa sulit untuk menjadi pendengar, tapi Andita telah sabar menjadi pendengar kami, meskipun dia sedang sakit dan membutuhkan bantuan.
Jangan pergi, Andita, engkau sahabat terbaik kami, maafkan kami.

Engkau yang melindungi Soraya saat dia ketahuan mencontek ujian histilogimu, Soraya panik dan belum sempat belajar, namun engkau mengatakan engkau yang tidak bisa dan mencontek pekerjaan Soraya.
Andita yang pemberani, dan meghajar laki-laki yang sengaja menghimpit Karin di bis. Andita yang selalu bisa mengerti aku yang sering menangis meskipun hanya akibat masalah-masalah sepele.
Jangan pergi, Andita... Kami sangat mencintaimu...

********
Langit sangat mendung seakan berduka, penghuni langit menangis mengantar kepegianmu.
Siapakah engkau, Andita? apa amalan yang engkau bawa, sehingga engkau pergi di hari Jum'at, hari terbaik. Hari dimana bumi diciptakan, hari dimana nabi Adam diciptakan dan hari dimana nabi Adam meninggal.
Ratusaan orang men-shalat-kan jenazahmu, ratusan orang mengantar kepergianmu. Padahal engkau hanyalah wanita kurus yang terbungkus jilbab panjangmu dan gamis, yang mencerminkan kebersahajaanmu.
Engkau bukan Soraya, dokter spesialis terkenal yang cantik dan modis, yang kehadirannya membuat iri para wanita lain. Yang pasiennya sangat banyak dan rela antri.
Engkau juga bukan Karin, si dokter ahli kandungan yang bertangan dingin, yang menjadi pujaan pasien-pasiennya yang ingin punya keturunan, dan aset berharga yang dimiliki negeri ini.
Engkau bukan Jelita, yang kemampuan strategi pemasarannya mengantarkan pada posisi yang paling diinginkan dokter-dokter ahli manajemen Rumah Sakit, menjadi salah satu direktur pelayanan medik RS terkenal dan megah di ibukota.


Amalan apa yang  engkau bawa sahabatku, sehingga wajahmu bersinar cantik saat kepergianmu, kembali kepadaNYA?
Kami sungguh iri padamu, yang selalu ikhlas, dan berhati putih...
Selamat jalan jiwa yang tenang dan diridhoiNYA.
*****

Sumber : botefilia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar