Senin, 29 April 2013

Aku Masih Menunggu

/1/

Sebenarnya aku ingin mengajakmu ngobrol panjang malam ini. Duduk santai di beranda sambil menyeruput nikmat secangkir kopi bersama rembulan dan kunang-kunang. Harusnya hujan sore tadi telah mengantarmu bersama Kijang tua yang pernah kita beli berdua. Namun hingga pertandingan bola tengah malam datang menyapa, kau tak juga tiba. Dalam hati aku mulai bertanya perihal kenangan yang mungkin saja kembali membawa kembaramu menjauh dariku.

/2/

Saat suatu senja dulu, kita pernah berjalan di tepian laut berdua. Menyusuri pepasir putih yang dihiasi karang berserakan tanpa alas kaki. “Ini baik, sekalian buat terapi,” jawabmu asal saat aku mengeluh sakit karena terus menginjaki benda-benda sialan yang tajam itu. Hingga akhirnya telapak kakiku berdarah, kau hanya tersenyum malu. Sungguh, perjalanan senja ini tak lagi bisa kunikmati. Hanya tinggal ringis dan tangis yang lalu bergoyang sintal pada altar hatiku.

/3/

Apa istimewanya sebuah telaga untukmu? Mengapa kaupinta aku untuk berenang lalu menyelam sampai ke dasarnya? Apa karena di sana tempat segala rahasiamu bermuara? Apa memang di sana murninya cinta hadir sebagaimana rupanya? Atau mungkin memang di sana akhir dari segala teka, teki, serta terka yang selama ini selalu kita pertanyakan.
Sayang, hanya ada setitik cahaya di tempatku berdiri saat ini. Seperti wajahmu namun bukan wajahmu. Kusebut ia batari yang lalu kureguk dan kusimpan rapi pada palka hatiku.

/4/

Foto di dompetku yang pernah jadi bukti kebersamaan kita kini telah purna dilabur kusam dan usang. Ratusan kenangan yang ikut kita abadikan di dalamnya perlahan mulai gugur seperti mawar-mawar yang jatuh melayu di pekarangan depan. Lalu apa yang masih tersisa dari segala yang habis yang musnah yang hilang dan yang tersia-siakan?
Apakah ada yang masih bisa kita nikmati dari sebentuk kesunyian?

/5/

Tubuhku telah sedari tadi tuntas dipagut gigilnya angin kelam. Tapi entah kenapa untuk sejenak aku masih ingin menunggumu. Tolong bantu aku untuk mengingat bagaimana senyum mentarimu telah menghangatkan dinginnya hatiku.
Di ujung mega, malam sepertinya tak ingin lagi hidup berdampingan dengan pagi. Aku masih menunggu dan tanpa terasa airmata mengalir di pipi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar