Jumat, 19 April 2013

Senja Tenggelam di Pantai Melur

sumber: http://grayrose.wordpress.com

Angin utara berembus sepoi meriakkan debur ombak dipantai melur. Air laut mulai surut . Siluet senja masih menebar sinar kemerahan menambah hawa apik pesona sore itu. Duduk seorang gadis ayu disebatang akar pohon ketapang yang mencuat kepermukaan tanah. Wajahnya sayu. Terlihat memendam kelelahan batin. Memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong. Para pengunjung sudah pulang semua. Hanya para penjual di warung – warung kecil saja yang masih sibuk berkemas untuk pulang kerumah mereka masing – masing. Hari sudah menjelang malam.

“ Kak Lin,sudah malam lekas pulang ”

“ Pulanglah dulu ”

“ Tapi nanti ibu khawatir ”

“ Ulin bisa pulang sendiri ”

“ Ayolah, sebentar lagi motornya mau dipakai sama ayah ”

“ Aku bisa jalan kaki ”

“ Iya, tapi lumayan jauh. Ibu tambah cemas ”

Wajah gadis itu menoleh kearah laki-laki yang berdiri di sampingnya. Ades, adik angkatnya tetap tak berubah sifatnya. Ia selalu saja menuruti apa saja yang diperintahkan oleh ibunya. Ia anak yang patuh. Sore itu Ades disuruh menjemput Ulin yang dari tadi pagi dipantai terus.

“Masuk angin nanti”

“ Ya. Sebentar lagi. Tinggalah aku sendiri. Aku akan baik-baik saja ”kata Ulin meyakinkan adiknya.

Dari sorot matanya Ades jadi mengerti.

“ Cepatlah pulang sebelum maghrib ” katanya sambil beranjak pergi meninggalkan Ulin sendiri.

Ulin tersenyum lalu mengganggukkan kepalanya. Ulin memandangi adik angkatnya sampai menghilang dibalik rerimbunan pohon beringin dan ketapang lalu menatap laut lagi. Ingatanya terusik kembali kemasa lalu.

****

“ Dingin? ” Ulin menoleh laki-laki yang barusan duduk disampingnya. Lalu menggeleng. Namun ia merapatkan kakinya lalu memeluk badanya dengan kedua tangannya.

“ Pake ini ”lalu cowok itu melepaskan jaketnya dan memakaikannya dipunggung gadis itu. Ulin hanya diam.

“ Terima kasih ” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.

“ Kok, baru nampak ya, dari tadi aku tidak melihat kamu ikut bus rombongan kami ” kata lelaki itu lagi. Ulin tetap diam, masih malas bicara.

“ Maaf kalau aku mengganggu. Aku akan pergi ” katanya lagi. Ulin hendak mau bilang tidak tapi cowok itu sudah terlanjur pergi menyusul teman - temanya yang lain yang berkerumun didekat api unggun. Cowok itu merasa tidak enak karena telah mengusik gadis itu dan lebih baik bernyanyi bareng teman - teman yang lain. Pikirnya.

Sebenarnya cowok itu hatinya baik. Ia hanya berpenampilan apa adanya. Badanya yang enerjik dibalut kaos oblong hitam dan jelana jeans biru dongker ketat bersepatu sport warna putih. Rambutnya yang ikal gondrong sebahu. Dengan sedikit janggut tipis menambah kesan cool itu. Walaupun kulitnya hitam. Jauh dari kesan preman dijalanan.

***
 
Minggu sore,dormitory Ulin.
 
Ulin duduk bersebelahan dengan Mas Banu. Pandangannya lurus kedepan.

“ Siapa yang memberikan alamatku padamu? ”Tanya ulin dengan sikap yang dingin.

“ Siapa lagi kalau bukan temanmu, Rani. Ada apa? Katanya ada yang penting, makanya aku datang kesini ” jawab Banu. Matanya menatap tajam mata gadis yang ada disebelahnya sehingga membuat Ulin sedikit gelagapan karena tak pernah berani menatap wajah lawan bicaranya. Ia hanya menunduk saja. Wajah yang dingin sama seperti yang dulu. Tak pernah berubah. Pikir Banu.

“ Eh…saya hanya ingin mengucapkan terima kasih ” jawabnya ngelantur.

“ Untuk apa ”

“ Mas dulu pernah membuatku hangat ”

Banu mengerutkan dahi. “ Aku tak mengerti”

“ Kau melepaskan jaketmu dan memakaikannya untuku ”

“ Oh…itu…”

“ Aku akan mengembalikanya padamu, maaf lama karena aku tak tahu siapa namamu dan juga alamatmu ” potong Ulin.

“ Kau tak perlu melakukan itu. Aku sudah senang bisa membantumu. Semua jaket ataupun barang - barangku yang lain jika sudah kuberikan sama orang lain maka tak perlu dikembalikan lagi. Aku tak suka menerimanya. Aku sudah ikhlas memberikanya pada siapapun termasuk padamu ” kata Banu panjang lebar.

“ Kalau begitu aku juga tak pernah bisa menerima pemberian dari orang lain, pasti akan aku kembalikan apapun itu. Itu prinsipku ” kata Ulin yang tak kalah tegasnya dengan Banu.

“ Jadi kalau tak mau menerimanya maka akan aku buang saja ” kata Ulin lagi.

“ Terserah kau saja ” kata Banu. Wajahnya sedikit kecewa . Ternyata gadis disampingnya benar — benar gadis yang dingin dan keras kepala.

Lama keduanya terdiam. Sibuk dengan pikiranya masing-masing.

“ Sudahlah…ayo minum tehnya selagi masih hangat ” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ulin. Ia lalu mengambilkan cangkir berisi teh dan menyodorkanya pada Banu.

“ Terima kasih ”

Ulin hanya mengangguk.

” Oh ya sekarang ada film menarik lho? Film horor. Kau suka? ”

“ Boleh ”

Lalu keduanya pergi menonton film dibioskop. Sampai disana keduanya tak jadi menonton film horor tapi menonton film komedi. Keduanya sama-sama senang seolah lupa pada persoalan pribadi masing - masing. Yang kini hadir dibenak mereka adalah rasa senang dan damai. Berdua bersama menikmati kehangatan malam.

***

5 bulan kemudian…

“ Ada apa? Kau menyuruhku datang ”

“ Kau tak senang ”

“ Bukan begitu ”

“ Aku heran saja ”

“ Sebenarnya aku berat mau ngomong ini, tapi kau mungkin perlu tahu biar aku tak dikira sombong. Minggu depan aku akan pulang kampung. Masa kerjaku disini sudah habis. Tak ada lagi yang bisa aku kerjakan disini. Aku ingin mencoba mencari pekerjaan dikampung. Aku juga ingin mencoba mengasuh kedua adiku sendiri. Kasihan neneku yang sudah tua. Neneku sudah terlalu tua untuk mengasuh kedua adiku. Sudah sepatutnya neneku menikmati masa tuanya dengan senang bukanya malah membebani. Ulin terdiam. Matanya memandang Banu sekilas lalu ditundukanya lagi wajahnya.

Kenapa tak ada reaksi apa-apa darinya. Berarti benar bahwa Banu tak ada perasaan apa – apa terhadap dirinya. Kupikir ia menyimpanya dalam – dalam sehingga tak ada seorang pun yang tahu perasaanya. Tapi aku sungguh merasa tenang bila ada didekatnya. Aku pasti akan selalu merindukanya.

Ulin menghela nafas panjang.

“ Mas Banu denger gak? ” tangan Ulin menepuk pundak Banu hingga membuatnya kaget.

“Eh… iya denger ” jawab Banu pura – pura tahu. Ia tidak ingin mengecewakan Ulin lagi.

“ Nanti bisa kuantar. Jam berapa berangkatnya? ”

“ Soal jam nanti akan kuberi tahu menyusul “

“ Kau senang jika aku pergi? “ Tanya ulin lagi.

“ Mau bagaimana lagi. Jika itu membuatmu senang maka tak ada yang melarangnya. Lagi pula kamu sudah dewasa dan kupikir itu sudah dipikirkan olehmu masak – masak “ Kau benar. Tapi sebenarnya berat juga sih.

“Aku yakin bisa menjalaninya ini semua “
Aku akan sangat merindukanmu. Batin ulin bergejolak tapi tak mampu berkata. Tercekat ditenggorokan. Mas Banu juga terlihat tegar. Keduanya kikuk salah tingkah. Hanya tatatapanya yang berkata bahwa aku juga akan merindukanmu.

***

3 tahun kemudian…
 
Udara malam ini sungguh gerah. Hiruk pikuknya masih terdengar hingga larut malam. Tempat kost Ulin terasa begitu sumpek baginya. Ia tak bisa memejamkan mata sebarang sedetikpun. Tadi siang Mas Bram bilang mau melamarnya besok. Dan ia sendiri masih bingung. Cintakah ia padanya?. Tapi Mas Bram begitu baik padanya. Dan ia tak kuasa menolak kebaikanya selama ini.  Toh cinta itu mungkin akan tumbuh dikemudian hari. Dulu ia selalu punya alasan menolaknya. Tapi kini kedua adiknya sudah lulus SMA dan keduanya sudah bekerja semua. Bahkan salah satu adik bungsunya kuliah sambil kerja. Tak ada lagi yang harus ditanggungya. Ia bebas memilih jalan hidupnya. Tapi bagaimana dengan Banu yang ada di Batam. Ia amat mecintainya. Tapi ia sendiri tidak tahu bagaimana perasaan Banu terhadapnya. Ia berharap Banu tahu akan hal itu. Ulin sudah lama menunggunya tapi tak pernah jua perasaan itu diutarakan padanya. Hingga Ulin berkeputusan melupakanya. Tapi tetap saja tidak bisa. Rasa itu semakin mendera hatinya. Banu tak pernah sedikitpun memberi kabar padanya. Mungkin dia memang sudah melupakanya. Ulin duduk didepan cermin dan mengamati dirinya. Aku sudah lelah hidup sendiri. Aku butuh pendamping hidupku tuk mengarungi samudra kehidupan yang tak bertepi. Bisiknya dalam hati.
 
Ulin bangun agak kesiangan. Ia bergegas mandi dan berdandan serapi mungkin. Hari ini adalah proses lamaran Bram dan Ulin. Calon mertuanya di Surabaya akan datang ke Jakarta. Juga kedua adik kakak Bram yang ada di Batam. Ulin segera menelpon kedua adiknya yang juga kerja Bekasi agar datang ke tempat saudaranya dimana proses lamaran  akan diselenggarakan ditempat itu.

“ Assalaamu’alaikum “

“ Wa’laaikumsalam “ serempak kelurga besar Ulin  menyambutnya dengan ramah.

Suasana lamaran dua keluarga besar tampak riuh dan ramai.  Ulin tampak gugup sehingga lupa melihat sekelilingnya. Ada mata yang tajam menatap dirinya.  Disudut ruangan duduk seorang pemuda dengan wajah yang pucat dan terkejut melihat keadaan itu. Lalu ia beranjak pergi kedapur belakang. Ia tak ingin berkenalan dengan calon kakak iparnya.
 
Mata Ulin tak berkedip melihat siapa yang datang dari balik pintu dapur. Ia sama tampak terkejutnya dengan Banu. Tak bisa dipercaya. Hatinya senang tapi juga sedih dan kecewa melihat keadaan sekarang yang sudah berubah. Degub jantungnya berpacu kencang ketika Banu berjalan mendekati dirinya. Mata keduanya saling bersitatap. Tapi cepat – cepat dikuasainya. Mereka berdua tak ingin ada yang tahu .

“De Ulin ini Banu adik saya yang bekerja di Batam “ kata Bram memperkenalkan adiknya pada Ulin. Banu mengulurkan tangan tapi Ulin hanya membalasnya dengan menangkupkan kedua tanganya. Banu memahami itu. Banu dan kakaknya Bram memang berbeda. Bram amat sholeh dan ia adalah seorang aktifis masjid. Sedang Banu lebih memilih jalanya sendiri yang nyantai tapi tetap memperhatikan mana yang baik dan mana yang buruk baginya. Ia lebih suka berpenampilan apa adanya. Tak ada kata sapa yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya berbicara melalui tatapan matanya. Banu tak banyak berubah. Masih seperti yang dulu ketika Ulin mengenalnya. Rambutnya masih gondrong sebahu dan gayanya juga cool dan cuek.

***

Berita malam.
 
Sore tadi baru saja terjadi kecelakaan pesawat garuda boeng 737 nomor penerbangan 00526 dengan rute Jakarta – Batam dikabarkan gagal mendarat. Akibatnya pesawat jatuh tergelincir dan menyebabkan badan pesawat terbakar. Saat ini masih berlangsung evakuasi terhadap korban. Namun sejauh pemantauan kami belum ada korban yang diketemukan selamat.

Bagai disambar petir, semua kelurga Bram tak beranjak dari berita televisi itu. Semua cemas menunggu kabar. Ulin memegang erat tangan suaminya yang juga sama terkejutnya. Kepalanya pusing dan ia tak kuasa menahan lelehan air matanya.

***
 
Tit..tit. Sebuah pesan sms masuk mengagetkan lamunan Ulin. Sms dari Bram suaminya. “ De, cepat pulang. Malam ini kita berkemas untuk kembali ke Jakarta besok pagi “. Ulin beranjak pergi. Semilir angin laut memainkan jilbabnya. Sayup - sayup terdengar suara adzan maghrib. Tak disangka, Ades adik angkatnya ternyata sudah menunggu didepan parkiran motor kawasan pantai melur.

“ Ayah tak jadi pergi. Saya disuruh menjemput mba. Katanya Mas Bram menelpon ibu tadi sore “ kata Ades.

“ Ya. Mba tahu. Ayo pulang “ajak Ulin. Sesekali mata Ulin memandang laut untuk terakhir kalinya. Ia mengubur semua kenangan itu bersamaan dengan senja yang mulai tenggelam.

“Aku masih mencintaimu, Mas Banu ” teriak batin ulin pada senja sore itu.

Sumber :  http://fiksi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar