Rabu, 10 April 2013

Senyum Anne

Oleh: Syila Fatar

Hari ini sekuntum lili putih. Hans menghirup bau khas bunga kesayangan Anne itu. Baunya  mirip Anne. Hans lalu mendekapnya di dada, seolah merengkuh Anne erat-erat. Dengan langkah tegap, dia menyelempangkan tas kerjanya dan menderapkan langkahnya menuju Pearl Hospital. Hanya lima belas menit dari toko bunga langganannya. Toko bunga yang berada tepat di tengah-tengah antara kantornya dan Pearl Hospital.
“Lili cantik,“ komentar resepsionis Pearl Hospital, seperti biasa. Dengan kalimat yang sama  tiap hari. Hans tahu, resepsionis itu sudah bosan melihatnya, tapi dia harus senantiasa bersikap ramah kepada semua orang yang berlalu-lalang di depannya. Termasuk kepada Hans.
“Terima kasih,“ ucap Hans riang.
Langkah-langkahnya seakan terbang menuju ruang ICU. Tempat Anne, wanita terkasihnya, terbaring. Hari ini, dia berharap mendapat senyum Anne. Harapan yang sama dengan hari-hari yang telah mereka lalui bersama. Sedikit saja bibir Anne tertarik ke kiri dan ke kanan, maka dunia serasa menjadi miliknya. Dan pendar-pendar harap itu selalu membuncah, bersama dengan pendar-pendar matahari sore yang terpecah oleh gedung-gedung tinggi. Pemandangan yang berusaha dia nikmati  tiap pagi dan sore.
“Lili lagi?” tanya Melly, perawat shift malam, di depan pintu ICU. “Bukankah kemarin juga lili?”
Hans tersenyum, “Seminggu ini akan selalu ada lili untuk Anne. Minggu depan, hari ulang tahun pernikahan kami.”
Melly mengangguk-angguk dan tersenyum lebar. Sejenak dia melongok ke ruangan di balik jendela kaca, menatap seraut wajah yang terbaring di sana. Hans berdiri di sampingnya, dengan tegap memegang lili di tangan kanannya. Berdua mereka menatap Anne yang terbaring di dalam ruangan itu. Melly selalu kagum pada lelaki di sampingnya itu. Tak pernah lelah mengharap senyum muncul di bibir istrinya, yang terbaring koma sejak lima tahun yang lalu.
“Apa hari ini dia tersenyum?” tanya Hans, penuh harap.
“Kau bisa melihatnya di rekaman video hari ini. Kau tahu tempatnya.”
“Thanks, Melly.”
Bahkan, dia sudah begitu akrab dengan semua orang di Pearl Hospital. Dari tukang pel, para perawat, dokter, sampai supplier obat. Bisa dibilang, Hans adalah keluarga besar Pearl Hospital.
“Aku yakin, dia akan tersenyum minggu depan,” ucap Hans, optimistis.
“Semoga.”
Melly memperhatikan Hans masuk ke ruang ICU setelah mengenakan baju steril. Mengecup kening Anne. Menggenggamkan lili itu di kedua tangan Anne. Lalu dia mulai mengoceh, bercerita tentang apa yang sudah dikerjakannya hari ini di kantor. Sesekali dia tertawa gembira. Tapi, di penghujung cerita, dia akan menyusut sudut matanya dengan lengan bajunya. Dan dia akan sepanjang malam berada di Pearl Hospital. Seperti seorang ibu yang menjaga bayinya yang sedang sakit. Selalu waswas, khawatir esok tak bisa berjumpa lagi.

***
Hans baru saja menyelesaikan laporan terakhirnya, ketika Melly menelepon. Dua jam sebelum jam pulang kantor.
“Yup, apakah dia tersenyum?” tanya Hans, gembira.
“Hans, dokter memintamu datang. Denyut jantungnya  makin kencang dan suhu badannya naik.”
Hans terkesiap. Sejurus kemudian, dia pun berlari menuju atasannya, yang hanya berjarak lima meja dengannya.
“Tuan Andre, aku harus ke Pearl Hospital sekarang,“ ucap Hans, dengan napas memburu.
Andre mengangkat kepalanya, menurunkan kacamata bacanya. Dia menatap Hans dengan tatapan yang tak pernah berubah dari masa ke masa. Tatapan mata penuh tuduhan, apakah pekerjaan sudah usai?
“Kenapa? Sudah waktunya?”
“Tidak, jangan katakan itu. Denyut jantungnya meningkat. Saya rasa, dia akan bangun dari komanya.”
“Hmm, laporanmu?”
“Sudah ada di meja. Saya akan meminta Steve membawanya ke  sini nanti. Belum saya rapikan. ”

Hans meninggalkan atasannya begitu saja, setengah berlari, tanpa menanti jawaban. Dia hampir menabrak beberapa rekan kerjanya. Tapi, dia tak lupa untuk menyambar sekuntum lili di toko bunga. Si pemilik toko hanya melambai, memaklumi tingkah lelaki tampan langganannya itu. Hans akan membayar esok hari. Dia tak pernah lalai.
Dokter menemui Hans di depan jendela kaca kamar Anne. Dilihatnya, beberapa perawat sedang menangani Anne. Beberapa selang dilepas. Beberapa suntikan diinjeksikan. Tampak kepanikan yang mulai mereda. Dan dokter pun keluar dari ruang kaca seraya melempar senyum menghibur.
“Dokter?”
Dokter menepuk bahu Hans, dan tersenyum lebar.
“Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Hans. Tapi, aku yakin, kekuatan cintamu yang membuatnya bisa bertahan.”
“Apa … dia tersenyum?” tanya Hans, penuh harap.
“Kenapa kau selalu berharap dia tersenyum?”
“Karena senyumnya, yang telah mengikat hati saya. Senyumnya membuat saya memiliki seluruh isi dunia.“
“Saya tidak tahu, apakah dia akan bisa tersenyum lagi atau tidak. Lanjutkan hidupmu, Hans. Kau layak bahagia.”
Hening. Selalu saja nasihat yang sama dari orang-orang di sekelilingnya. Melanjutkan hidup dan meninggalkan Anne. Padahal, bagi Hans, Anne adalah hidupnya.
“Tidak, saya sudah bahagia berada di sisinya,  tiap hari, selama lima tahun ini. Tidak ada yang saya harapkan lagi selain senyumnya. Buat dia tersenyum, Dok.”
“Kami sudah memberikan yang terbaik untuk Anne. Senyum itu, hanya kau yang bisa melakukannya, Hans. Dia hanya mau tersenyum karena kamu.”
Dokter meninggalkannya. Melly keluar dari ruangan dan menyerahkan sebuah papan hasil diagnosis. Hans membacanya dengan cepat. Beberapa istilah sudah tidak asing lagi baginya.
“Suhu badannya meningkat sejak tadi pagi. Dan denyut jantungnya mulai naik, Bola matanya bergerak agak cepat. Seingatku, hal ini berulang setahun sekali. Apa dugaanku benar?”
Hans mengiyakan ucapan Melly dengan anggukannya. Ya,  tiap tahun, di minggu dan bulan yang sama, kepanikan ini selalu terjadi. Kepanikan yang menimbulkan harap dan cemas. Harapan akan senyum Anne terhias di wajahnya. Cemas, bahwa penderitaannya akan berakhir.
“Ya. Tiga hari menjelang pernikahan kami, lima tahun yang lalu. Dia pasti mengingatnya begitu dalam, hingga terulang  tiap tahun.“
“Seingatku, tahun kemarin dia tersenyum di hari pernikahan kalian,“ ucap Melly. “Aku melihat videonya. Tidakkah itu cukup bagimu?”
“Tidak, senyumnya tidak seperti itu. Dia kesakitan saat itu. Itu senyum kesakitan. Itu bukan senyum Anne.”
Melly meninggalkan Hans. Membiarkan lelaki itu memulai rutinitasnya  tiap sore hingga malam. Menemani istrinya, hingga pagi menjelang. Melly yakin, Hans tidak pernah pulang ke rumah. Atau, mungkin dia sudah menjual rumahnya. Karena hidupnya hanya dari kantornya ke Pearl Hospital.
Beruntung baginya, Pearl Hospital yang membiayai seluruh perawatan Anne. Karena, kecelakaan yang dialami Anne, dan menyebabkannya koma, disebabkan oleh anak Direktur Pearl Hospital. Sebagai ganti pembebasan tuntutan hukum, Direktur Pearl Hospital membebaskan biaya perawatan Anne, sampai sembuh. Dan sayang sekali, lima tahun berlalu, Anne tak kunjung bangun.

***
Hans menggenggam tangan Anne. Hangat. Suhu badannya mulai turun karena efek obat. Sekuntum lili, diletakkannya di dada Anne. Napas wanita itu kini sudah lembut teratur, hingga lili itu naik turun di dadanya berirama.
“Sayang, kau tentunya masih ingat. Besok adalah hari ulang tahun pernikahan kita. Kau ingin aku membuka album foto kita?”
Hans mengambil sebuah album foto dari laci lemari kecil di sebelah ranjang Anne. Lalu membukanya perlahan.
“Kau membatalkan pesta bujangan dengan teman-temanmu, hanya karena ingin berbincang denganku sepanjang malam. Huh, kenapa kau melakukannya lewat telepon? Seharusnya malam itu aku nekat datang ke apartemenmu, dan meneriakimu dari bawah. Tapi  sialnya, aku urungkan niatku malam itu, karena hujan sangat deras. Lagi pula, apartemenmu di tingkat sepuluh, kau tidak akan mendengar teriakanku.”
Hans menatap Anne. Tidak ada senyum di wajah itu.
“Bibi Nena sedang hamil tua, dan dia nekat datang ke acara pernikahan kita. Besoknya dia melahirkan. Anaknya sekarang sudah sekolah, Sayang. Besok sepulang sekolah, Bibi Nena dan anaknya berjanji datang ke sini. Juga Rona, Dea, dan Trisa. Kau tentunya masih ingat, Trisa menikah sehari sebelum kita. Mereka semua akan datang merayakan hari ulang tahun pernikahan kita, Sayang. Oh, ya. aku sudah mempersiapkan kado terindah buat kamu. Apa kamu juga menyiapkan kado untukku?”
Tidak ada jawaban dari Anne, walau hanya sedikit gerakan tangan. Hanya helaan napas lembut yang teratur. Hans meletakkan kembali album foto di lemari. Dia menggenggam tangan Anne dan menciuminya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya.
“Kapan kau akan tersenyum kembali, Sayang? Besok, ya? Tersenyumlah untukku. Itu adalah hadiah terindah.”
Melly berdiri menatap punggung Hans dari balik kaca. Lelaki itu, tak pernah putus asa menanti senyum kekasihnya. Walau, dia sudah tahu hal itu adalah keajaiban yang hanya bisa dipinta lewat doa. Entah kapan akan terkabul. Kerusakan otak Anne mencapai delapan puluh persen. Tapi, suaminya masih berharap senyum darinya.
Adakah cinta sekuat cinta Hans kepada Anne? Kebahagiaannya terenggut di hari pernikahannya. Tapi, dia tak pernah berhenti berharap. Berusaha mengukir bahagia itu hari demi hari, menghangatkan cintanya detik demi detik, di sisi kekasihnya yang bahkan tak bisa melihat pijar cinta itu di kedua mata Hans.

***
Hans mengirim pesan pada Melly. Bahwa dia akan datang terlambat ke Pearl Hospital. Dia sedang menyiapkan pesta ulang tahun pernikahannya yang kelima. Mendatangkan seribu lili ke Pearl Hospital, untuk Anne. Melly geleng-geleng kepala. Mau diletakkan di mana lili sebanyak itu? Akan banyak bunga lili di tong sampah besok pagi. Tapi, Pearl Hospital tak pernah keberatan dengan hal-hal seperti itu..
“Biar aku yang mengurus lili itu nanti,“ ucap Bibi Nena pada Melly. “Kami akan membantu Hans membaginya ke semua pegawai di Pearl Hospital.”
Bibi Nena dan putrinya hadir bersama Rona, Dea dan Trisa. Orang tua Anne dan Hans sudah tiada. Tahun kemarin, masih ada ibu Hans yang ikut merayakan hari ulang tahun pernikahan Hans dan Anne. Hanya Bibi Nena, kerabat Hans, yang masih ada. Kini, mereka hanya berempat hadir di ruang ini. Hans memang hanya menghendaki mereka berempat hadir. Sahabat-sahabat terbaik Anne.
“Pukul berapa Hans akan datang?” tanya Rona, lelah menunggu, “Ini sudah lewat satu jam.”
“Hans sudah menunggu lima tahun, masa satu jam saja kau sudah bosan?” sergah Bibi Nena.
“Aku hanya khawatir, Anne gelisah. Bibi kan tahu, Anne selalu tepat waktu. Dia akan gelisah setengah mati seolah jarum jam akan patah.“
Bibi Nena melirik jamnya. Hans sudah terlambat lima belas menit. Melly melintas. Waktunya memeriksa Anne.
“Dia bilang akan datang terlambat,“ ucap Melly, melihat kegelisahan keempat wanita itu, “Sabarlah sedikit.”
Melly mendatangi Anne. Memeriksa semua peralatan yang menopang hidup Anne. Denyut jantungnya agak meningkat. Dan, sesuatu terjadi ….
“Dia tersenyum…,” gumam Melly tidak percaya, hingga mendekatkan wajahnya ke wajah Anne.
Dada Melly seolah bergemuruh melihat senyum itu. Begitu manis dan elegan. Hingga dia tak heran, kenapa Hans begitu menanti senyum itu. Senyum yang membuat  pria  itu jatuh cinta kepada wanita ini. Melly melihat jam pada layar monitor. 10.10. Seingatnya, itu jam pernikahan Hans dan Anne. Melly bergegas keluar dari ruangan Anne.
“Hai… dia tersenyum! Anne tersenyum! Cepat telepon Hans!” ujarnya setengah berteriak.
Bibi Nena bergegas menyambar ponselnya. Menelepon Hans. Tidak ada jawaban.
“Tidak diangkat!” seru Bibi Nena.
“Aku akan menelepon dari luar Pearl Hospital. Kadang sinyal di sini jelek,“ kata Rona, seraya berlari keluar, menuju selasar.
“Tidak. Sepertinya, ini kejutan dari Hans. Dia tahu, Anne akan tersenyum hari ini. Dia pasti sudah datang dengan seribu lilinya di depan. Ayo, kita ke depan! “ kata Dea, setengah melonjak.
Keempatnya segera berlari, menyusuri selasar. Meninggalkan Melly, yang masih takjub memandangi senyum Anne. Entah kenapa, seolah seisi Pearl Hospital menanti senyum ini, seperti Hans. Melly segera menghubungi tim dokter Anne. Sebuah keajaiban setelah lima tahun. Senyum itu masih bertahan, seolah Anne menanti kedatangan Hans untuk melihat senyumnya.
Keempat orang itu tidak menemukan Hans di pintu depan Pearl Hospital. Tapi, ada keramaian di sana. Sebuah mobil boks parkir di depan Pearl Hospital. Beberapa orang menurunkan bunga lili. Pesanan Hans. Tapi, mana Hans?
“Rona, Dea, kau tanyakan ke pembawa lili itu.“
Bibi Nena mengawasi Rona dan Dea yang bergegas menuju mobil boks. Tiba-tiba, Trisa menggamit lengannya.
“Bibi, ada apa itu?”
Telunjuk Trisa mengarah ke kerumunan orang di depan UGD. Perasaan Bibi Nena tiba-tiba tidak nyaman. Dia bergegas menuju ke UGD. Dan sosok lelaki berjas putih berdarah yang sedang didorong dengan dragbar ke UGD, membuat tubuhnya lemas. Jas putih dengan sulaman tangan buatannya di ujung lengan. Sulaman tangan itu, dibuatnya lima tahun yang lalu, atas rengekan Anne. Anne yang mendesain gambar sulaman itu. Berpola bunga lili.
“Hans …,” bisik Bibi Nena lirih.
Sementara Trisa mengejar dragbar itu seraya histeris memanggil nama Hans. Seorang dokter jaga mencegahnya.
“Nona, Anda keluarganya?”
***
Bibi Nena, Rona, Dea dan Trisa tergugu di depan kaca. Sementara, tim dokter di ruangan Anne mengangguk kepada Melly. Melly pun melepas semua selang yang ada di tubuh Anne.
“Anne.…”
Tangis pilu keempat orang itu kontan pecah. Di saat senyum Anne menghiasi wajahnya. Di jam yang sama, rohnya bertemu dengan roh Hans. Dia hanya ingin mempersembahkan senyum terindahnya untuk Hans.

***

Sumber : http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar