Minggu, 12 Januari 2014

Masjid adalah Sumber Kebaikan

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah [9]: 17-18)

Mukaddimah
Abdullah bin Abbas menceritakan, ayat ini turun terkait Abbas bin Abdul Muththalib –yang masih musyrik saat itu- ikut tertawan dalam perang Badar bersama musyrikin Makkah. Ketika itu orang-orang Islam lalu datang mencela karena mereka berani memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berujung kepada putusnya tali kerabat di antara mereka.

Menanggapi hal itu Abbas lalu menyanggah, “Kalian ini hanya mampu menyebut kejelekan dan keburukan kami, sedang kalian tak pernah menilai bahkan menyembunyikan kebaikan yang juga ada pada diri kami.”

Mendengar hal itu para Sahabat terlonjak kaget, “Benarkah kalian juga memiliki kebaikan?” Abbas bin Abdul Muththalib menjawab, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang memakmurkan Masjidil Haram, merawat Ka’bah, dan memberi minum para jamaah haji, serta membebaskan para budak dan tawanan.”

Atas celoteh Abbas bin Abdul Muththalib itulah, Allah merespon dengan menurunkan ayat tersebut. (Tafsir al-Munir, Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili)

Makna Ayat
Ayat ini secara tegas menafikan klaim orang-orang di luar Islam yang terkadang mengaku berbuat baik. Terlebih jika mereka mengaitkan kebaikan itu dengan masjid sebagai rumah Allah sekaligus pusat ibadah bagi kaum Muslimin. Sebab, kebaikan itu bersumber dari keimanan sebagai syarat utama sebuah amalan. Sedang kaum musyrikin –dalam ayat ini- justru mengakui sendiri jika mereka adalah kumpulan orang-orang kafir. Suatu kondisi yang hanya menguatkan posisi mereka sebagai penghuni neraka akibat amalan-amalan mereka yang tertolak.

Memakmurkan Masjid
Masjid yang makmur adalah dambaan setiap Muslim. Bagi orang yang pernah menunaikan haji di Baitullah, tentu merasakan pengalaman spiritual yang sangat berkesan ketika shalat di Masjidil Haram. Suasana masjid begitu khusyuk dengan jumlah jamaah yang membludak. Kesakralan masjid yang didukung dengan arsitektur yang sangat megah menjadikan setiap umat Islam harus menanggung rindu dan berharap kapan lagi bisa shalat dengan suasana seperti itu.

Lebih jauh, mufassir ternama Imam at-Thabari menerangkan, perintah memakmurkan masjid tak cukup dengan pengertian bahasa saja. Yaitu membangun masjid dengan megah atau menjaga kebersihan bangunannya. Lebih dari itu, memakmurkan masjid adalah upaya setiap Muslim mendatangi masjid minimal lima kali sehari semalam. Sebab, begitulah syarat utama dalam memakmurkan masjid. Inilah dua makna memakmurkan masjid yang harus berjalan beriringan yang menjadi tanggungjawab atas setiap pribadi Muslim.
Sebuah bangunan masjid yang megah hanya menyisakan pemandangan indah, jika masjid itu kosong dari orang-orang yang menegakkan shalat berjamaah di dalamnya. Ia hanya potret bangunan bisu, jika ternyata masjid itu senyap dari kegiatan taklim dan pembinaan umat. Sebaliknya, kekhusyukan shalat jadi terganggu kalau rumah Allah itu tidak tersentuh perawatan yang baik. Upaya pencerahan umat bisa ternoda hanya karena masalah kebersihan masjid yang tidak beres.

Masjid Tanda Kebaikan
Lewat ayat ini, Allah memberi tuntunan praktis dalam menentukan orang-orang baik di sekitar kita. Hal ini penting, sebab pada dasarnya kodrat manusia tercipta sebagai makhluk sosial. Manusia adalah lemah dan sangat bergantung kepada orang lain dan lingkungannya. Memilih teman dan lingkungan menjadi perkara mendasar, sebab ia berandil kuat kepada pembentukan karakter orang-orang yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu, Nabi bersabda, “Jika kalian melihat orang yang senantiasa datang ke masjid, maka persaksikanlah sesungguhnya ia memiliki modal iman,” (Riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmidzi).

Keimanan yang produktif (iman nafi’) dalam jiwa seorang Muslim niscaya melahirkan kebaikan-kebaikan. Sedang ciri utama kebaikan itu tergambar lewat ibadah shalatnya sebagai pokok amalan yang pertama kali dihisab kelak.

Dalam rumus Islam, kebaikan berupa shalat niscaya mampu menghasilkan sekian banyak kebaikan berikutnya. Sebab, shalat yang benar bisa menjadi tameng dalam menolak kemungkaran yang ada di sekitarnya. Sekaligus ia berfungsi sebagai motivator dalam menyeru kepada amalan-amalan makruf yang lain.

Amru bin Makmun al-Audi menambahkan, “Saya hidup bersama beberapa orang Sahabat Nabi, sedang mereka berkata, ‘Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak lain adalah rumah-rumah Allah di dunia. Maka tentunya kewajiban Allah untuk memuliakan siapa saja tamu yang datang berkujung ke rumah-Nya.’ (Tafsir Ibnu Katsir, Abu al-Fida Ismail bin Katsir).

Masjid, sekali lagi menjadi solusi pertama dalam mengurai permasalahan umat Islam saat ini. Masjid adalah sentral dari seluruh kebaikan masyarakat yang ada. Sebagaimana lingkungan yang baik juga tercermin dari masjid yang ada di sekitar wilayah itu. Jika masjidnya ramai dengan jamaah yang shalat lima waktu, niscaya orang-orang dan lingkungan masjid itu ikut menjadi baik pula.
Sebaliknya jika masjidnya kosong dari jamaah, maka kita patut heran, kebaikan apa lagi yang dicari selain tumpukan kebaikan yang menanti dalam masjid.

Berburu Hidayah Allah
Bagi seorang Muslim hidayah adalah persoalan nomor satu dalam kehidupan ini. Apalah arti kekayaan dan kesehatan jika orang itu tak beroleh hidayah dari Allah. Apalah arti jerih payah di dunia ini kalau pelaku perbuatan itu tak mengawalinya dengan petunjuk Allah. Sejarah telah membuktikan, kurang apa amalan Abu Thalib dalam menolong dakwah Islam. Seluruh keuntungan perniagaannya ia serahkan semuanya untuk membantu langkah dakwah Nabi yang ketika itu masih terseok di kota Makkah. Pengorbanan apa lagi yang belum dilakukan oleh sang paman tersebut kecuali ia belum merasakan manisnya hidayah Allah. Alhasil, semua yang dilakukan tanpa didasari iman dan hidayah hanya berujung kepada penderitaan dan penyesalan seumur hidup saja.

Keimanan itu lahir setelah datangnya hidayah, sebagaimana ia bisa eksis jika orang tersebut masih mendapatkan curahan hidayah dari Allah Sang Pemberi petunjuk. Di penghujung ayat ini Allah Ta’ala memberikan garansi “mulia” bagi orang-orang yang senantiasa memakmurkan masjid. Hidayah yang selama ini menjadi dambaan setiap Muslim rupanya bisa diraih dengan menegakkan shalat berjamaah di masjid.

Imam as-Sa’di mengomentari, kata ’asa yang berarti semoga (terjadi) jika disandarkan kepada Allah, maka ia bermakna suatu hal yang wajib terlaksana. Jika ada yang bertanya, bagaimana cara merawat iman dan hidayah yang ada pada diri ini?

Maka jawabannya sederhana saja, peliharalah shalat lima waktu secara berjamaah di masjid. Niscaya Allah tak sungkan mencurahkan hidayah-Nya kepada orang-orang yang memakmurkan rumah-Nya. *Masykur, pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Balikpapan
SUARA HIDAYATULLA, MARET 2012

Sumber: majalah.hidayatullah.com

1 komentar: