Minggu, 12 Januari 2014

5 Adab Dalam Bepergian (Safar) Agar Perjalanan Anda Bernilai Ibadah

Hidup terus berputar bagaikan roda pedati. Ada yang datang dan ada pula yang pergi, ada suka dan duka yang kesemua itu merupakan ketetapan sang Maha Pencipta. Dunia adalah tempat persinggahan sementara dalam perjalanan menuju akhirat. Oleh karenanya, sepantasnyalah bagi kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang tersebut.
 
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.(QS. Al-Baqarah: 197).
Begitu pula jika ketika kita hendak melakukan perjalanan  di suatu tempat, maka kita harus mempersiapkan bekal. Bekal yang paling utama yang harus di miliki oleh seseorang ketika hendak melakukan suatu perjalanan adalah ilmu. Supaya perjalanannya bisa mendapatkan ridho Allah dan tetap di atas tuntunan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Pembaca yang budiman, safar (perjalanan jauh) tidak bisa lepas dari kehidupan seseorang. safar merupakan suatu kebutuhan manusia, seperti haji, umrah, menuntut ilmu, berbisnis, silatirahmi dengan kelurga, tugas dakwah dan kewajiban lainnya yang mengharuskan adanya safar. Allah -Subhana Wa Ta’ala- tidak membiarkan hambanya hanya asyik berdiam diri di mesjid untuk beribadah kepada-Nya, namun sebaliknya memerintahkan untuk segera menyebar di muka bumi. Allah -Azza Wa Jalla- berfirman,
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.( QS. Al-Jumu’ah :10)

Bahkan ada manusia yang menggantungkan hidupnya di atas roda kendaraannya dalam mencari nafkahnya dengan melakukan safar kemana-mana, seperti supir bus antar daerah, pilot pesawat dan lainnya. Mereka menghabiskan waktunya dalam safar sehingga mereka sangat membutuhkan ilmu syar’i agar bisa menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana telah menyempurnakan agamanya dan telah menetapkan beberapa aturan ketika sesorang bersafar. Allah -Ta’ala- memberi dispensasi bagi orang yang bersafar dibanding orang yang mukim dalam melaksanakan kewajiban. Oleh sebab itu, pada edisi kali ini kami akan sajikan beberapa adab ketika bersafar sehingga safar kita bisa bernilai ibadah.
1.       Anjuran berpamitan  bagi orang yang hendak bepergian.
Ketika sseseorang hendak bepergian, dianjurkan untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan kawan-kawan. Sebab Allah menjadikan berkah di dalam doa mereka. Inilah sunnah yang banyak dilupakan oleh kaum muslimin pada hari ini, yaitu melepas kepergian dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Qoza’ah berkata, “Ibnu umar pernah berkata kepadaku,’ marilah kulepas kepergianmu sebagaimana Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melepas kepergianku,
 
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan penuntup amalmu”.[HR. Abu Dawud (2600). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 14)]
Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menjadikan agama dan amanah seseorang sebagai titipan, karena di dalam safar seseorang akan tertimpa rasa berat, dan takut sehingga hal itu menjadi sebab tersepelekannya sebagian perkara-perkara agama. Lantaran itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakan kebaikan bagi orang yang safar berupa bantuan dan taufiq. 

Seseorang dalam safarnya tersebut tak akan lepas dari kegiatan yang ia perlukan di dalamnya berupa mengambil dan memberi sesuatu, bergaul dengan manusia. Karena itulah, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakannya agar dipelihara sifat amanahnya, dan dijauhkan dari sifat khianat. Kemudian, jika ia kembali kepada keluarganya, maka akhir urusannya aman dari sesuatu yang membuatnya buruk dalam perkara agama dan dunianya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidziy (8/338)]
Inilah hikmahnya seseorang saling mendoakan saat seseorang bepergian. Selain itu, berpamitan juga memiliki manfaat lain, yaitu ia merupakan kesempatan untuk memberi wasiat, pesan, dan lainnya. Sebab banyak orang yang pergi, dan tak diketahui lagi rimbanya sehingga putuslah hubungan silaturahim, atau lainnya.
2.   Makruh hukumnya seseorang bepergian sendiri.
Islam menyerukan kepada pemeluknya untuk senantiasa bersatu dan berjama’ah, bukan berpecah belah. Begitu pula ketika bersafar dianjurkan untuk berjama’ah dan berombongan. Oleh karena itu, jika seseorang ingin melakukan suatu perjalanan, maka hendaklah ia mencari teman-teman dalam perjalanan dan jangan ia pergi seorang diri. Sebab dalam perjalanan banyak ditemukan kesusahan, bahaya, dan penderitaan.
Al-Khoththobiy -rahimahullah- berkata, “Orang yang bepergian sendiri, andaikan ia meninggal, maka tidak ada yang memandikannya dan menguburkannya serta mengurus segala sesuatunya. Juga tidak ada orang yang bisa menerima wasiatnya untuk mengurus harta bendanya dan membawanya kepada keluarganya serta tidak ada yang memberi kabar kepada keluarganya. Tidak ada orang yang membantu membawa perbekalannya selama perjalanannya. Sedangkan jika ia pergi bertiga atau berombongan, maka mereka bisa saling membantu, bahu-membahu, berbagi tugas, bergiliran jaga, melaksanankan shalat secara berjama’ah dan memperoleh bagian dari berjama’ah.”[Lihat ‘Aunul Ma’bud (7/125) cet.Daar Ihya' At-Turats Al-Arabiyyah.]
Lantaran itu, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang seseorang untuk bepergian sendiri  dalam sabdanya,
لَوْ يَعْلَمُ اْلنَّّاسُ مَا فِيْ اْلوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
 Andaikata manusia mengetahui apa (bahaya) kesendirian sebagaimana yang kuketahui, niscaya tidak ada seorang pengendara pun yang akan berjalan di malam hari dalam keadaan seorang diri. ” [HR. Al-Bukhoriy (no. 2998). ]
Larangan dalam hadits ini mencakup pengendara maupun pejalan kaki. Penyebutan pengendara dalam hadits ini disebabkan karena kebanyakan orang yang bepergian itu memakai kendaraan. Larangan ini pula berlaku pada waktu malam maupun siang hari. Sebab disebutkan dalam hadits ini pada waktu malam, karena malam hari lebih rawan kejahatan dan lebih besar resikonya.
3.      Anjuran untuk menunjuk ketua rombongan dalam sebuah perjalanan
Tatkala melakukan safar secara berombongan maka ia memiliki keterikatan diantara banyak orang. Oleh karenanya, dianjurkan bagi orang yang bepergian secara berombongan dan yang berjumlah tiga atau lebih, agar menunjuk salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan. Tugasnya ialah memimpin dan mengurus segala sesuatu untuk kepentingan mereka bersama. Keputusannya harus dipatuhi oleh seluruh anggota rombongan dengan syarat tidak memerintahkan berbuat maksiat kepada Allah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ,
 
Apabila ada tiga orang yang keluar dalam sebuah perjalanan, maka hendaklah mereka menunjuk salah satu dari mereka menjadi amir(ketua rombongan).”[HR. Abu Dawud (2608). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 1322)]
4.      Larangan membawa anjing dan lonceng dalam perjalanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,
 
Malaikat tidak mau menemani rombongan yang di dalamnya terdapat anjing dan tidak pula lonceng.”[HR. Muslim dalam Kitab Al-Libas wa Az-Zinah (no. 2113)]
Dalam hadits ini dengan tegas menyatakan larangan membawa anjing dan lonceng ketika bersafar. Sebab akan menghalangi para malaikat menyertai rombongan safar dalam perjalanannya. Hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits yang lain seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang anjing,
 
Para malaikat tidak masuk pada suatu rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.”[HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (3075) Muslim Shohih-nya (3929)]
Adapun sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang lonceng, karena lonceng adalah seruling setan. Hal ini dengan jelas dikatakan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
 
Lonceng adalah seruling setan.”[HR. Muslim dalam Kitab Al-Libas wa Az-Zinah (2114)]
Jika para malaikat menjauh dari rombongan, maka hal itu akan menyebabkan keberkahan juga hilang karena melakukan larangan dan juga membawa lonceng. Lalu bagaimana pula dengan orang yang bersafar dengan membawa alat-alat musik atau mendengarkan musik dari awal safarnya sampai ke tujuan? Para malaikat tentu akan lebih menjauh lagi.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam mengharamkan musik,
 
Akan ada beberapa kaum diantara ummatku yang akan menghalalkan zina, kain sutera (bagi laki-laki), khomer, dan musik“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (5590), dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4039)]
Hendaknya safar yang kita lakukan bersih dari anjing, lonceng, musik, dan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla-.
5.      Larangan bepergian tanpa ada mahram bagi wanita.
Di dalam syariat Islam, seorang wanita tidak boleh bersafar tanpa disertai oleh mahramnya. Sebab hal itu akan menimbulkan fitnah (malapetaka) bagi dirinya dan para lelaki yang ada disekelilingnya. Dengan adanya mahram bagi wanita ketika bersafar, mak ia akan terlindungi dan terawasi serta ada yang mengontrolnya. Sebab orang yang berhati busuk itu banyak dan orang yang matanya jelalatan itu jauh lebih banyak lagi. Oleh karenanya, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
 
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sepanjang sehari semalam tanpa ditemani mahram. [HR. Al-Bukhari(1088)]
Bahkan Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- pernah mendengar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
 
“Jangan sekali-kali seorang lelaki berada di tempat yang sepi dengan seorang wanita, dan jangan sekali-kali seorang wanita safar (bepergian jauh), kecuali bersama mahramnya.”
Kemudian ada seorang lelaki berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku sudah mendapat tugas dalam perang begini dan begini,sementara istriku pergi haji. Beliau lantas bersabda,”Berangkatlah pergi haji berrsama istrimu!!”. [HR.Al-Bukhari (3006)]
Hadits diatas adalah dalil yang paling tegas menunjukkan haramnya seorang wanita bersafar tanpa ada mahram yang meyertainya. Sebab Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- lebih mendahulukan sahabatnya untuk menemani istrinya pergi berhaji daripada ikut berperang.
Al-Imam Abu ZakariyaAn-Nawawi -rahimahullah- berkata,”Tindakan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut mengandung konsep mendahulukan yang lebih penting diantara hal-hal yang bertentangan. Tatkala kepergiannya di medan perang bertabrakan dengan kepergian istrinya menunaikan ibadah haji, maka didahulukanlah ia untuk menemani istrinya. Sebab tugas di medan perang dapat digantikan oleh orang lain, sedang menemani istri pergi haji tidak bisa digantikan oleh siapapun.”[Lihat Al-Minhaj Syarah Shohih Muslim (9/93)]
 
Sumber: abul-harits.blogspot.com
 
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar