Angin
utara berembus sepoi meriakkan debur ombak dipantai melur. Air laut
mulai surut . Siluet senja masih menebar sinar kemerahan menambah hawa
apik pesona sore itu. Duduk seorang gadis ayu disebatang akar pohon
ketapang yang mencuat kepermukaan tanah. Wajahnya sayu. Terlihat
memendam kelelahan batin. Memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong.
Para pengunjung sudah pulang semua. Hanya para penjual di warung –
warung kecil saja yang masih sibuk berkemas untuk pulang kerumah mereka
masing – masing. Hari sudah menjelang malam.
“ Kak Lin,sudah malam lekas pulang ”
“ Pulanglah dulu ”
“ Tapi nanti ibu khawatir ”
“ Ulin bisa pulang sendiri ”
“ Ayolah, sebentar lagi motornya mau dipakai sama ayah ”
“ Aku bisa jalan kaki ”
“ Iya, tapi lumayan jauh. Ibu tambah cemas ”
Wajah
gadis itu menoleh kearah laki-laki yang berdiri di sampingnya. Ades,
adik angkatnya tetap tak berubah sifatnya. Ia selalu saja menuruti apa
saja yang diperintahkan oleh ibunya. Ia anak yang patuh. Sore itu Ades
disuruh menjemput Ulin yang dari tadi pagi dipantai terus.
“Masuk angin nanti”
“ Ya. Sebentar lagi. Tinggalah aku sendiri. Aku akan baik-baik saja ”kata Ulin meyakinkan adiknya.
Dari sorot matanya Ades jadi mengerti.
“ Cepatlah pulang sebelum maghrib ” katanya sambil beranjak pergi meninggalkan Ulin sendiri.
Ulin tersenyum lalu mengganggukkan kepalanya. Ulin memandangi adik angkatnya sampai menghilang dibalik rerimbunan pohon beringin dan ketapang lalu menatap laut lagi. Ingatanya terusik kembali kemasa lalu.
****
“
Dingin? ” Ulin menoleh laki-laki yang barusan duduk disampingnya. Lalu
menggeleng. Namun ia merapatkan kakinya lalu memeluk badanya dengan
kedua tangannya.
“ Pake ini ”lalu cowok itu melepaskan jaketnya dan memakaikannya dipunggung gadis itu. Ulin hanya diam.
“ Terima kasih ” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
“ Kok, baru nampak ya, dari tadi aku tidak melihat kamu ikut bus rombongan kami ” kata lelaki itu lagi. Ulin tetap diam, masih malas bicara.
“ Maaf
kalau aku mengganggu. Aku akan pergi ” katanya lagi. Ulin hendak mau
bilang tidak tapi cowok itu sudah terlanjur pergi menyusul teman -
temanya yang lain yang berkerumun didekat api unggun. Cowok itu merasa
tidak enak karena telah mengusik gadis itu dan lebih baik bernyanyi
bareng teman - teman yang lain. Pikirnya.
Sebenarnya
cowok itu hatinya baik. Ia hanya berpenampilan apa adanya. Badanya yang
enerjik dibalut kaos oblong hitam dan jelana jeans biru dongker ketat
bersepatu sport warna putih. Rambutnya yang ikal gondrong sebahu. Dengan
sedikit janggut tipis menambah kesan cool itu. Walaupun kulitnya hitam.
Jauh dari kesan preman dijalanan.
***
Minggu sore,dormitory Ulin.
Ulin duduk bersebelahan dengan Mas Banu. Pandangannya lurus kedepan.
“ Siapa yang memberikan alamatku padamu? ”Tanya ulin dengan sikap yang dingin.
“ Siapa
lagi kalau bukan temanmu, Rani. Ada apa? Katanya ada yang penting,
makanya aku datang kesini ” jawab Banu. Matanya menatap tajam mata gadis
yang ada disebelahnya sehingga membuat Ulin sedikit gelagapan karena
tak pernah berani menatap wajah lawan bicaranya. Ia hanya menunduk saja.
Wajah yang dingin sama seperti yang dulu. Tak pernah berubah. Pikir Banu.
“ Eh…saya hanya ingin mengucapkan terima kasih ” jawabnya ngelantur.
“ Untuk apa ”
“ Mas dulu pernah membuatku hangat ”
Banu mengerutkan dahi. “ Aku tak mengerti”
“ Kau melepaskan jaketmu dan memakaikannya untuku ”
“ Oh…itu…”
“ Aku akan mengembalikanya padamu, maaf lama karena aku tak tahu siapa namamu dan juga alamatmu ” potong Ulin.
“ Kau tak
perlu melakukan itu. Aku sudah senang bisa membantumu. Semua jaket
ataupun barang - barangku yang lain jika sudah kuberikan sama orang lain
maka tak perlu dikembalikan lagi. Aku tak suka menerimanya. Aku sudah
ikhlas memberikanya pada siapapun termasuk padamu ” kata Banu panjang
lebar.
“ Kalau
begitu aku juga tak pernah bisa menerima pemberian dari orang lain,
pasti akan aku kembalikan apapun itu. Itu prinsipku ” kata Ulin yang tak
kalah tegasnya dengan Banu.
“ Jadi kalau tak mau menerimanya maka akan aku buang saja ” kata Ulin lagi.
“ Terserah kau saja ” kata Banu. Wajahnya sedikit kecewa . Ternyata gadis disampingnya benar — benar gadis yang dingin dan keras kepala.
Lama keduanya terdiam. Sibuk dengan pikiranya masing-masing.
“ Sudahlah…ayo minum tehnya selagi masih hangat ” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ulin. Ia lalu mengambilkan cangkir berisi teh dan menyodorkanya pada Banu.
“ Terima kasih ”
Ulin hanya mengangguk.
” Oh ya sekarang ada film menarik lho? Film horor. Kau suka? ”
“ Boleh ”
Lalu
keduanya pergi menonton film dibioskop. Sampai disana keduanya tak jadi
menonton film horor tapi menonton film komedi. Keduanya sama-sama senang
seolah lupa pada persoalan pribadi masing - masing. Yang kini hadir
dibenak mereka adalah rasa senang dan damai. Berdua bersama menikmati
kehangatan malam.
***
5 bulan kemudian…
“ Ada apa? Kau menyuruhku datang ”
“ Kau tak senang ”
“ Bukan begitu ”
“ Aku heran saja ”
“ Sebenarnya aku berat mau ngomong ini, tapi kau mungkin perlu tahu biar aku tak dikira
sombong. Minggu depan aku akan pulang kampung. Masa kerjaku disini
sudah habis. Tak ada lagi yang bisa aku kerjakan disini. Aku ingin
mencoba mencari pekerjaan dikampung. Aku juga ingin mencoba mengasuh
kedua adiku sendiri. Kasihan neneku yang sudah tua. Neneku sudah terlalu
tua untuk mengasuh kedua adiku. Sudah sepatutnya neneku menikmati masa
tuanya dengan senang bukanya malah membebani. Ulin terdiam. Matanya
memandang Banu sekilas lalu ditundukanya lagi wajahnya.
Kenapa
tak ada reaksi apa-apa darinya. Berarti benar bahwa Banu tak ada
perasaan apa – apa terhadap dirinya. Kupikir ia menyimpanya dalam –
dalam sehingga tak ada seorang pun yang tahu perasaanya. Tapi aku
sungguh merasa tenang bila ada didekatnya. Aku pasti akan selalu
merindukanya.
Ulin menghela nafas panjang.
“ Mas Banu denger gak? ” tangan Ulin menepuk pundak Banu hingga membuatnya kaget.
“Eh… iya denger ” jawab Banu pura – pura tahu. Ia tidak ingin mengecewakan Ulin lagi.
“ Nanti bisa kuantar. Jam berapa berangkatnya? ”
“ Soal jam nanti akan kuberi tahu menyusul “
“ Kau senang jika aku pergi? “ Tanya ulin lagi.
“ Mau
bagaimana lagi. Jika itu membuatmu senang maka tak ada yang melarangnya.
Lagi pula kamu sudah dewasa dan kupikir itu sudah dipikirkan olehmu
masak – masak “ Kau benar. Tapi sebenarnya berat juga sih.
“Aku yakin bisa menjalaninya ini semua “
Aku
akan sangat merindukanmu. Batin ulin bergejolak tapi tak mampu berkata.
Tercekat ditenggorokan. Mas Banu juga terlihat tegar. Keduanya kikuk
salah tingkah. Hanya tatatapanya yang berkata bahwa aku juga akan
merindukanmu.
***
3 tahun kemudian…
Udara
malam ini sungguh gerah. Hiruk pikuknya masih terdengar hingga larut
malam. Tempat kost Ulin terasa begitu sumpek baginya. Ia tak bisa
memejamkan mata sebarang sedetikpun. Tadi siang Mas Bram bilang mau
melamarnya besok. Dan ia sendiri masih bingung. Cintakah ia padanya?.
Tapi Mas Bram begitu baik padanya. Dan ia tak kuasa menolak kebaikanya
selama ini. Toh cinta itu mungkin akan tumbuh dikemudian hari. Dulu ia
selalu punya alasan menolaknya. Tapi kini kedua adiknya sudah lulus SMA
dan keduanya sudah bekerja semua. Bahkan salah satu adik bungsunya
kuliah sambil kerja. Tak ada lagi yang harus ditanggungya. Ia bebas
memilih jalan hidupnya. Tapi bagaimana dengan Banu yang ada di Batam. Ia
amat mecintainya. Tapi ia sendiri tidak tahu bagaimana perasaan Banu
terhadapnya. Ia berharap Banu tahu akan hal itu. Ulin sudah lama
menunggunya tapi tak pernah jua perasaan itu diutarakan padanya. Hingga
Ulin berkeputusan melupakanya. Tapi tetap saja tidak bisa. Rasa itu
semakin mendera hatinya. Banu tak pernah sedikitpun memberi kabar
padanya. Mungkin dia memang sudah melupakanya. Ulin duduk didepan cermin
dan mengamati dirinya. Aku sudah lelah hidup sendiri. Aku butuh pendamping hidupku tuk mengarungi samudra kehidupan yang tak bertepi. Bisiknya dalam hati.
Ulin
bangun agak kesiangan. Ia bergegas mandi dan berdandan serapi mungkin.
Hari ini adalah proses lamaran Bram dan Ulin. Calon mertuanya di
Surabaya akan datang ke Jakarta. Juga kedua adik kakak Bram yang ada di
Batam. Ulin segera menelpon kedua adiknya yang juga kerja Bekasi agar
datang ke tempat saudaranya dimana proses lamaran akan diselenggarakan
ditempat itu.
“ Assalaamu’alaikum “
“ Wa’laaikumsalam “ serempak kelurga besar Ulin menyambutnya dengan ramah.
Suasana
lamaran dua keluarga besar tampak riuh dan ramai. Ulin tampak gugup
sehingga lupa melihat sekelilingnya. Ada mata yang tajam menatap
dirinya. Disudut ruangan duduk seorang pemuda dengan wajah yang pucat
dan terkejut melihat keadaan itu. Lalu ia beranjak pergi kedapur
belakang. Ia tak ingin berkenalan dengan calon kakak iparnya.
Mata
Ulin tak berkedip melihat siapa yang datang dari balik pintu dapur. Ia
sama tampak terkejutnya dengan Banu. Tak bisa dipercaya. Hatinya senang
tapi juga sedih dan kecewa melihat keadaan sekarang yang sudah berubah.
Degub jantungnya berpacu kencang ketika Banu berjalan mendekati dirinya.
Mata keduanya saling bersitatap. Tapi cepat – cepat dikuasainya. Mereka
berdua tak ingin ada yang tahu .
“De Ulin
ini Banu adik saya yang bekerja di Batam “ kata Bram memperkenalkan
adiknya pada Ulin. Banu mengulurkan tangan tapi Ulin hanya membalasnya
dengan menangkupkan kedua tanganya. Banu memahami itu. Banu dan kakaknya
Bram memang berbeda. Bram amat sholeh dan ia adalah seorang aktifis
masjid. Sedang Banu lebih memilih jalanya sendiri yang nyantai tapi
tetap memperhatikan mana yang baik dan mana yang buruk baginya. Ia lebih
suka berpenampilan apa adanya. Tak ada kata sapa yang keluar dari mulut
keduanya. Mereka hanya berbicara melalui tatapan matanya. Banu tak
banyak berubah. Masih seperti yang dulu ketika Ulin mengenalnya.
Rambutnya masih gondrong sebahu dan gayanya juga cool dan cuek.
***
Berita malam.
Sore
tadi baru saja terjadi kecelakaan pesawat garuda boeng 737 nomor
penerbangan 00526 dengan rute Jakarta – Batam dikabarkan gagal mendarat.
Akibatnya pesawat jatuh tergelincir dan menyebabkan badan pesawat
terbakar. Saat ini masih berlangsung evakuasi terhadap korban. Namun
sejauh pemantauan kami belum ada korban yang diketemukan selamat.
Bagai
disambar petir, semua kelurga Bram tak beranjak dari berita televisi
itu. Semua cemas menunggu kabar. Ulin memegang erat tangan suaminya yang
juga sama terkejutnya. Kepalanya pusing dan ia tak kuasa menahan
lelehan air matanya.
***
Tit..tit. Sebuah pesan sms masuk mengagetkan lamunan Ulin. Sms dari Bram suaminya. “ De, cepat pulang. Malam ini kita berkemas untuk kembali ke Jakarta besok pagi “. Ulin beranjak pergi. Semilir angin laut memainkan jilbabnya. Sayup - sayup
terdengar suara adzan maghrib. Tak disangka, Ades adik angkatnya
ternyata sudah menunggu didepan parkiran motor kawasan pantai melur.
“ Ayah tak jadi pergi. Saya disuruh menjemput mba. Katanya Mas Bram menelpon ibu tadi sore “ kata Ades.
“ Ya. Mba
tahu. Ayo pulang “ajak Ulin. Sesekali mata Ulin memandang laut untuk
terakhir kalinya. Ia mengubur semua kenangan itu bersamaan dengan senja
yang mulai tenggelam.
“Aku masih mencintaimu, Mas Banu ” teriak batin ulin pada senja sore itu.
Sumber : http://fiksi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar