“Ibu akan lebih berdosa kalau membiarkanmu terus hidup, nak. Ibu tidak
mau melihatmu menderita kalau sudah besar nanti. Ibu membunuhmu, sebab
ibu menyayangimu”
Ibu menangis. Aku tahu ibu sangat menyayangiku, sangat mencintaiku.
Sebab matanya selalu menyorotkan sinar cinta dan kasih sayang. Sebesar
cintanya pada Bapak. Tapi dimana Bapak, Bu?
***
Malam itu, aku baru saja bisa menatap
dunia. Mataku mulai bisa terbuka. Melihat wajah ibu yang teduh dan
sejuk. Tetapi malam itu, aku ketakutan. Aku melihat ibu gelisah. Mungkin
ibu takut aku terluka. Sebab pertama kalinya ia menggendongku penuh
kasih sayang. Aku mampu merasakannya dari belaiannya yang lembut.
Kulitnya yang hangat dan sorot matanya yang penuh binar purnama cinta.
Tetapi, seharusnya aku merasa nyaman.
“Ini bukan salahmu, Nak. Semua ini
kesalahan mereka yang tak punya hati. Berjiwa binatang dan penuh dengan
nafsu” gumam ibu. Lantas meletakkanku diatas tempat tidur. Ia pergi
mencari sesuatu. Setelah kembali, ia memegang sebilah pisau.
“Cinta! Ibu tidak pernah merasakan
bahagia dari cinta, anakku. Juga Ibu tidak pernah bahagia dengan
Bapakmu. Tidak! Ibu sangat kecewa. Dia hanya membual dengan mengatakan
dia sungguh mencintai ibu. Tetapi itu hanya cara, anakku! Cara yang
menurutnya indah untuk mendapatkan apa yang di inginkannya. Setelah
dapat, dia pergi begitu saja”
Ibu menangis, hujan diwajahnya jatuh
membasahi tubuhku. Ibu selalu begitu. Ibu menangis haru kalau mengingat
orang yang meninggalkannya itu.
“Dan anakku, kita juga butuh uang.
ASI Ibumu setelah seminggu pasti mengering. Bagaimana ibu bisa membeli
susu buatmu, buat makan kita. Maka dari itu, nak, ibu lebih senang bila
membunuhmu. Supaya tidak menanggung derita yang panjang. Biar kamu
sampai di surga-Nya”
Maka aku mengerang sejadi-jadinya.
Ibu mau membunuhku. Aku tidak percaya, bahkan tidak yakin. Tatapan ibu
bukanlah tatapan benci. Itu tatapan lembut penuh kasih sayang. Tapi
mengapa? Apa salahku? Ibu pasti tahu kalau itu dosa. Ibu hanya sedang
gelisah. Ya Tuhan, sadarkan ibu. Aku tidak merasa tersiksa, Bu. Kita
harus berjuang hidup bersama. Ibu pasti menyayangiku, jadi tak ada
alasan untuk membunuhku.
“Satu hal lagi anakku. Ibu membunuhmu supaya kakek dan nenekmu tidak menanggung malu atas aib ibumu ini”
Ya Tuhan berikan aku kekuatan untuk meyakinkannya. Aku titipan-Mu yang tak boleh disia-siakan.
“Ibu malu anakku, malu pada mereka,
malu pada orang sekampung nantinya. Mereka akan mencemooh ibu. Itu
membuat aib bagi keluarga. Bukan hanya ibu yang malu, tapi juga orang
tua ibu, kakek dan nenekmu.”
Ibu hanya memikirkan hal buruk yang
akan menimpa. Ibu tidak memikirkan kemungkinan lain yang lebih baik. Oh,
Tuhan. Aku meringkih sejadi-jadinya. Tidakkah terlintas di benak ibu
bahwa kakek dan nenek akan memeluk ibu setelah tahu ibu menderita?
Ayolah, Bu, letakkan kembali pisau itu. Biar Tuhan yang menentukan
semuanya.
***
Kulihat ibu terdiam. Menatapku. Air
matanya masih mengalir. Lalu dia meletakkan pisau di meja dekat tempat
tidur. Semoga ibu luluh atas cintanya. Ibu mengangkatku dalam pelukan
hangatnya. Aku menangis. Dan kami menangis diruangi cinta yang
bercahaya.
“Ibu tak tega kalau harus membunuhmu anakku. Ibu yakin, kalau kamu besar, kamu akan menjadi anak berguna”
Aku tersenyum. Itu berarti ibu akan membesarkanku.
“Tapi, nak. Maafkan ibu. Ibu tetap tidak bisa untuk membesarkanmu.”
Kembali aku resah. Biarlah, aku
pasrah. Aku akan menerima keputusan ibu. Mungkin memang itu jalan
terbaik menurut ibu. Kulihat ibu meraih kembali pisau yang tadi dan
membawanya ke hadapanku. Aku siap menunggu.
“Tapi, nak. Bukan pisau ini takkan membunuhmu” lirih ibu. Dan apa maksud ibu. Aku hanya menatapnya pehuh nanar.
“Ibu tak sanggup menghujamkan pisau ini ke tubuhmu. Tapi anakku, ibu memang tak bisa membesarkanmu. Maafkan ibu.”
Aku cemas. Kalau memang ibu tak akan
membunuhku, lalu apa yang akan dilakukannya. Apa ibu akan membuangku?
Ahh, Tuhan ijinkan aku bicara langsung!!
Maka aku menangis sejadi-jadinya.
***
Tuhan ! ijinkan aku bicara pada ibu.
Bahwa di dunia ini hanya ada dua hal, baik dan buruk. Aku bersyukur
kalau ada orang yang menemukanku dalam keadaan hidup dan menjagaku.
Bagaimana kalau aku mati di jilat hawa dingin begitu ibu membuangku?
Lalu tanpa disadari petugas sampah akan mengirimku ke pembuangan akhir.
Dan mereka tidak sadar didalamnya ada aku, bu, anakmu. Seorang anak
manusia, bu!
Maka aku menangis sejadi-jadinya.
Air mata ibu mengucur deras menghujani wajahnya. Ibu mengangkatku, membawaku dalam pelukannya.
“Anakku, maafkan Ibu salah. Ibu sekarang sadar kalau ibu salah. Ibu tidak akan membuangmu, nak. Apalagi membunuhmu”
Ohh ya Tuhan, syukurlah.
“Tapi, anakku, memang pisau ini takkan membunuhmu. Pisau ini akan membunuh ib……!!!”
***
Tidaaaaaaaaaaaak !!!
Maka aku menangis sejadi-jadinya.
Sumber: http://fiksi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar