Alkisah, Putri diterima di perguruan tinggi dan harus pindah ke luar
kota. Orangtuanya membelikan sebuah rumah mungil yang sudah
direnovasi—selain untuk investasi, juga untuk membantu kelancaran putri
semata wayangnya yang sekarang mulai duduk di bangku kuliah. Sebagai
anak tunggal, semua kebutuhan Putri disediakan oleh orangtuanya, bahkan
tanpa diminta sekalipun.
Setelah pindah beberapa hari, Putri sadar, di sebelah tempat
tinggalnya ada rumah yang tampak sangat sederhana, dengan tiga orang
penghuni di dalamnya—seorang ibu muda dengan dua anaknya.
Suatu malam, terjadi hal yang tidak diinginkan. Lampu mati! Putri
segera meraih telepon genggamnya dan menyalakan layar untuk menerangi
sekitarnya. “Huuh…..apa-apaan nih! Mana mau ngerjain tugas, pakai mati
lampu segala!” keluh Putri dengan perasaan jengkel.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu
berulang-ulang diikuti teriakan nyaring, “Kakaaak... Kakaaak!” Putri
membalas berteriak dari dalam, “Hai… Siapaaaa?”
“Saya. Kak. Anak sebelah rumah. Kakak punya lilin..?”
Sambil berjalan menghampiri pintu, Putri sempat berpikir, “Anak
sebelah tuh, jangan-jangan mau minta-minta. Nanti jadi kebiasaan minta
deh.” Jadi segera dijawab, “Tidak punyaaa!”
“Tolong buka pintunya Kak,” kata anak itu mengulang, bertepatan ketika si Putri telah di ambang pintu, dan membukanya.
“Kak, saya dan mama khawatir.. Di sini kan sering mati lampu. Kakak
orang baru, pasti belum tersedia lilin. Ini Kak, mama menyuruh saya
untuk membawakan lilin untuk kakak,” seraya tangan mungilnya
mengangsurkan 2 batang lilin ke arah Putri.
Putri sejenak terpana, dia segera jongkok dan memeluk tubuh mungil di
hadapannya sambil mengeluarkan suara tercekat. “Terima kasih, adik
kecil. Tolong sampaikan ke mamamu ya, terima kasih..”
Putri malu pada dirinya sendiri yang telah berpikiran jelek dan tidak
menyangka bahwa tetangganya yang tampak begitu sederhana justru
menunjukkan kebesaran jiwa dengan mengkhawatirkan dirinya dan bahkan
memberi lilin, seolah cahaya kehidupan. Bukan seperti pemikirannya,
bahwa si miskin yang datang mengetuk pintu pasti bertujuan untuk
mengganggu dan meminta tolong atau menyusahkan kita saja.
Perasaan tidak nyaman dan prasangka buruk sering kali menguasai saat
teman atau kerabat yang tidak mampu mengetuk pintu rumah kita atau
menghubungi kita. Jangan-jangan.. cuma mau minta tolong. Sesungguhnya,
jika ada teman atau kerabat yang sedang kesusahan, bukankah kita sedang
diberi kesempatan untuk berbuat baik? Seperti hukum alam mengajarkan
filosofi "tabur-tuai". Tanpa menabur kebaikan, bagaimana mungkin kita
berharap bisa menuai kebaikan di masa depan? Mari kita melatih
dan membiasakan jika ada kesempatan membantu orang lain. Tentu merupakan
suatu kebahagiaan jika ada kesempatan untuk meringankan beban orang
lain.
Sumber: http://www.andriewongso.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar