BAGAIMANA caraku menebar abu jenazah
Steven ke telaga? Ia berwasiat, jauh sebelum buta matanya dan meninggal
dunia, menghendaki abu jenazahnya ditaburkan ke telaga yang tak jauh
dari rumahnya. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya? Telaga itu telah
beberapa tahun ini dikeringkan. Telaga, yang diyakini orang-orang
sekitar, tempat bidadari mandi, berubah menjadi hamparan lahan
dipetak-petak. Selalu dikisahkan Steven saat mengail di telaga: bidadari
turun dari lengkung pelangi untuk berendam dan bersenda gurau, saat
dilihatnya gadis-gadis desa menceburkan diri dalam bening air, membasuh
tubuhnya sehabis mencuci pakaian.
Hampir sepuluh tahun Steven tinggal di desa sunyi di
tepi telaga. Ia mengikuti Karti, pembantu rumah tangganya yang kembali
ke desa, ketika ia pensiun dari Kedutaan Besar Inggris di Ibu Kota.
Lelaki yang aneh. Dia membeli rumah kayu di dekat telaga, tidak jauh
dari rumah Karti. Hidup menyepi. Tinggal sendirian. Melukis dan mengail
ke telaga.
Kukenal Steven ketika aku tengah mancing di tepi telaga.
Lambat dan tanpa disadari, kabut memudar di bawah pohon joho tua. Kami
duduk di atas akar yang melata. Lelaki bule itu mengail dengan tenang,
suntuk, hampir tanpa gerak.
Ketika hangat cahaya matahari mulai memantul di atas
permukaan telaga, Steven beranjak pulang, mengangguk ke arahku.
Menenteng ikan-ikan menggelepar hasil pancingannya. Langkah kakinya
ringan.
Suatu pagi, Steven mengundangku ke rumahnya. Kami minum
teh di ruang tamunya yang luas. Lukisannya tentang ikan-ikan, bangau,
pohon joho, dan ratu siluman penunggu telaga, dipamerkannya padaku. “Aku
mencintai kesunyian desa ini. Ketika Karti bercerita tentang desanya di
tepi telaga, aku ingin mengikutinya tinggal di sini. Ini desa yang
menenteramkan. Kubeli rumah kayu ini, dan aku mulai terbiasa dengan
suasana ketenteraman yang melingkupinya. Aku bisa melukis dan mancing
dengan bergairah.”
Aku tak berani bertanya tentang keluarganya, sampai ia
sendiri yang berkisah. “Istriku sudah meninggal. Dua anakku bekerja di
Inggris sana. Aku ingin mati di sini. Aku ingin menjadi bagian dari
ketenangan desa ini.”
***
BERHARI-HARI aku tak bersua Steven.
Tiap pagi aku mengail sendirian, dan berharap lelaki bule itu akan
menyusulku duduk di atas akar pohon joho tua. Meski kami tak
berbincang-bincang, kehadirannya menenteramkan hatiku. Setidaknya aku,
yang menikmati masa pensiun, dan kembali ke kampung halamanku, hidup
berdua dengan istri yang sudah renta, menemukan pertautan rasa
dengannya. Di desa ini ia tak memiliki kerabat dan keluarga. Atau
baginya, tak diperlukan lagi kerabat dan keluarga?
Aku berangkat ke surau, melintasi jalan di depan rumah
Steven, dengan rasa ingin mengetahui keadaannya. Mobilnya berada dalam
garasi. Setangkup pintu kayu di pendapa rumahnya dibiarkan terbentang.
Kesunyian menganga di dalamnya. Usai shalat subuh di surau, kembali
melintasi depan rumah Steven, aku disambut Karti.
“Mampirlah ke rumah Tuan Steven,” pinta Karti, santun dan memohon. “Tuan dalam keadaan sakit.”
Duduk di ruang tamu, sendirian, dengan secangkir teh
mengepul, sebatang rokok yang menyala di jari tangan kiri, Steven
kelihatan layu. Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Tapi ia tak
menyambut uluran tanganku.
“Tuan terserang diabetes. Matanya hampir buta,” kata Karti.
“Apa yang bisa kubantu untukmu?” desakku.
“Bawa aku ke tepi telaga. Kita mancing bersama!”
Kutuntun Steven ke tepi telaga. Kududukkan ia di akar
pohon joho melata tempat kesukaannya. Kupasangkan umpan pada mata kail.
Kulempar ke dalam air. Wajahnya memantulkan kesegaran air telaga.
Sungguh aneh, tiap kali Steven melempar kail ke telaga, segera disambar
ikan. Ia tertawa-tawa, mengangkat kail ikan yang menggelepar-gelepar,
dan memintaku untuk memasang umpan baru. Ia memintaku untuk menemaninya
makan siang dengan ikan bakar masakan Karti, yang katanya tiada tara.
Dan kubawa pulang ikan bakar yang masih utuh.
Steven tak pernah mengeluh, dan tak menampakkan wajah
yang murung. Ia berhenti melukis dan mengail di bawah pohon joho tua.
Hingga suatu pagi, sepulang dari surau, dia sudah menantiku di pintu
gerbang.
“Kau punya waktu mengantarku ke telaga?”
Tentu aku tak menolak permintaan Steven. Kuantar dia ke
tepi telaga, di bawah pohon joho tua. Kutuntun ia sampai pohon joho, dan
seperti mencari kenangan di antara akar yang melata dan bening air yang
menggenang sebagaimana kebiasaan Steven. Aku mancing. Steven berdiam
diri, merenung dalam ketenangan dan kesunyian telaga. Sepulang dari
telaga, Steven merasa sangat berhutang budi padaku.
Steven tetap tampak bahagia. Meski tak bisa lagi melihat
telaga. Tubuhnya memang kian lemah. Hingga aku tak pernah melihatnya di
pintu gerbang rumahnya. Karti yang berkisah, Steven hanya terbaring di
ranjangnya. Terkulai. Tak pernah lagi meninggalkan rumah. Ia telah
melupakan kegemarannya pergi ke telaga untuk mengail ikan pada pagi
berkabut.
Tiap subuh dini hari, sepulang dari surau, aku melihat
Steven duduk di kursi rodanya di beranda. Menghadap pintu pagar
rumahnya. Aku tak pernah bisa menduga, siapa yang dinantinya.
***
PERMUKAAN air telaga kian hari kian
surut. Tanggul sungai telah dibobol orang-orang suruhan Lurah Ngarso.
Air mengalir ke sungai kecil, dan membawa ikan-ikan di dalamnya. Kian
surut telaga, kian kelihatan lumpur, katak, ular, dan ikan lele yang
mencari genangan air. Mata air telaga ditimbuni dengan bebatuan. Tiap
hari selalu datang orang-orang kekar suruhan Lurah Ngarso, yang
menimbuni mata air telaga dengan batu-batu.
Mata air telaga masih mengucurkan air bening. Lurah
Ngarso memerintahkan membuat parit kecil, yang mengalirkan air bening
dari mata air ke sungai kecil yang gemericik airnya. Lumpur lembek
kehitaman di dasar telaga dikeringkan terik kemarau, kini menghampar
sebagai lahan, luas dan mulai diratakan. Tanah itu diukur,
dipetak-petak, dan orang-orang dari perkotaan datang untuk memilikinya.
Usai shalat subuh di surau, ketika melewati rumah
Steven, aku sudah dihadang Karti. Perempuan setengah baya itu memintaku
untuk menemui Steven. “Kesehatannya memburuk, dan memerlukan teman
bicara.”
Terbaring dengan tubuh lemah, Steven masih menampakkan
wajah yang tenang. Tangannya dingin dan lunglai. “Aku harus berwasiat
padamu. Bila aku mati, tebarkan abu jenazahku ke telaga.”
Aku tak bisa berkata tidak. Tapi bagaimana mungkin
memperturutkan wasiat Steven? Telaga itu telah menjelma lahan-lahan
kering, yang terpetak-petak, yang dimiliki juragan-juragan dari kota. Di
tengah-tengah lahan itu dibuat taman, dengan batu besar yang dipahat
serupa ikan gabus, dengan air mancur di sekelilingnya. Rumah-rumah baru
mulai didirikan, jalan beraspal, kantor-kantor, toko, dan mobil-mobil
mewah memasuki kawasan bekas telaga. Burung-burung yang dulu berkeliaran
di atas telaga kini masih beterbangan di atas lahan, rumah, gedung,
patung ikan gabus, dan pohon joho tua.
***
ABU jenazah Steven teronggok dalam guci
terbungkus mori. Karti yang membawanya padaku. Diletakkan di atas meja.
Tanpa berkata apa pun, aku sudah memahami kehendak Karti: memenuhi
wasiat Steven, menebar abu jenazahnya ke telaga. Tapi mana mungkin?
“Kita tebar abu jenazah ini ke laut,” kataku. Sepasang
mata Karti berbinar. Bersama beberapa orang yang mengenal Steven, kami
berangkat ke pantai. Menyewa sebuah kapal. Berlayar ke laut. Ombak
tenang. Laut tanpa pergolakan. Kapal berhenti di tengah laut. Aku
memasukkan tangan ke dalam guci. Meraih abu jenazah Steven. Menaburkan
ke laut. Abu jenazah tertebar dengan warna putih tulang. Karti
menaburkan abu jenazah tuannya, dengan dada terguncang menahan sesak.
Terasa tiada habis-habis abu jenazah Steven ditaburkan
ke laut. Tiap kali aku menggenggam abu warna putih tulang dan
menebarkannya ke laut, kian memperpekat sosok lelaki sepi itu dalam
pantulan gelombang. Kapal segera berputar mengitari kawasan taburan abu
jenazah. Kami menebar kembang. Wajah Karti membeku. Ia tak lepas
memandangi abu dan kelopak-kelopak bunga yang segera lenyap terhanyut
gelombang kecil laut.
Karti menenteng guci abu jenazah Steven. Tidak
diceburkannya ke dalam gelombang laut. “Biar guci ini kubawa pulang. Aku
ingin memiliki kenangan tentang tuan.”
***
MASIH remang pagi ketika aku pulang
shalat subuh dari surau, bersua Karti membawa guci tanah mendekati mata
air telaga. Apa yang dilakukannya? Gerak-geriknya canggung. Ia seperti
ingin menghindar dariku. Aku memilih diam, tak menegur, dan berjalan di
belakangnya. Ia berhenti di bawah pohon joho, yang dari celah akarnya
mengalir bening mata air.
“Masih kusisakan abu jenazah Tuan Steven. Akan kubuang
ke mata air telaga,” kata Karti. Ia menghampiri mata air telaga yang
bening. Menyingkap kain mori penutup guci. Menggenggam abu di dasar
guci. Menebarkankannya. Larut dalam gemericik air, terhanyut ke parit
dan mengucur ke sungai kecil. Wajahnya tampak bercahaya sewaktu
mengosongkan isi guci tanah itu.
Tapi abu itu tidak keputihan. Abu hitam pekat. Tangan
Karti berjelaga. Kemarin ketika kutaburkan abu jenazah Steven, terasa
lembut keputihan.
Sepasang mataku menyelidik. “Ini bukan abu jenazah Steven!”
Tergagap, menunduk, Karti menghindari tatapanku. “Memang bukan. Ini abu lukisan tuan.”
“Kenapa kaubakar?”
“Aku malu. Ini lukisan tuan tentang aku yang mandi di
telaga, di bawah pohon joho ini. Lukisan ini disimpannya dalam gudang,
dan tak pernah diceritakan pada siapa pun.”
Tangan Karti yang berjelaga dibasuhnya ke dalam mata air
yang mengalir. Ia menghanyutkan guci itu ke parit. Senyum perempuan itu
rekah, seperti telah melepaskan beban batin yang dipendamnya.
Karti menjauh dari mata air. Abu yang dihanyutkannya tak
selembut abu jenazah Steven yang keputihan. Kali ini yang ditebarkan ke
aliran mata air tampak kehitaman, berjelaga, serupa abu kertas yang
dibakar. Di bebatuan parit tersangkut serpihan kertas terbakar. Masih
terbaca sebagian tulisan tangan Steven yang tak terbakar, kurangkai
susah payah: kuwariskan seluruh kekayaanku pada warga desa….
Inikah surat wasiat Steven yang dibakar Karti? (*)
Sumber: http://lakonhidup.wordpress.com
bagus banget kak suka sekali bacanya
BalasHapusud telematics