Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjadi orang yang bahagia adalah cita-cita setiap insan. Meskipun demikian banyak orang yang tidak mengetahui jalan dan kaidah untuk meraih kebahagiaan. Bagi sebagian orang bahagia dimaknakan dalam bentuk kemewahan dunia. Bagi sebagian lainnya, kebahagiaan diartikan dengan popularitas dan ketinggian kedudukan di mata manusia.
Perbedaan sudut pandang itulah yang menggiring manusia untuk menempuh jalan yang berbeda-beda dalam mencari kebahagiaan yang mereka sangka. Bagi mereka yang memandang harta sebagai kunci bahagia maka mengejarnya dengan cara apapun adalah jalan untuk menggapainya. Bagi mereka yang menilai bahwa kebahagiaan ada pada kedudukan dan jabatan maka segala cara untuk mendapatkan tampuk kekuasaan dan kepimpinan adalah jembatan menuju bahagia menurut mereka.
Bagi insan beriman, tentu saja kebahagiaan itu ada pada nilai-nilai ibadah dan penghambaan kepada Allah ta’ala. Sebab Allah telah menjadikan kebahagiaan dan ketentraman bagi orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Allah ta’ala juga menegaskan (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’aam: 82)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ibadah kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya…” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])
Tonggak-tonggak kebahagiaan itu berporos pada tiga perkara:
- Bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya
- Bersabar dalam menghadapi segala musibah yang menimpa
- Memohon ampunan dari dosa-dosa yang dilakukan
Syukur, sabar, dan istighfar. Inilah tiga ciri kebahagiaan. Ibnul Qayyim rahimahulllah mengatakan, “Sesungguhnya ketiga perkara ini adalah pertanda kebahagiaan seorang hamba, itulah tanda akan keberuntungan dirinya di dunia dan di akhirat…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5 cet. Dar ‘Alam al-Fawa’id)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada diantara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istighfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan taubat dan istighfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)
Mensyukuri Nikmat Allah
Syukur dibangun di atas tiga perkara:
- Mengakui dari dalam hati bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari Allah
- Mengungkapkan pujian kepada-Nya atas nikmat tersebut dengan ucapan lisan
- Memanfaatkan nikmat-nikmat itu dalam rangka menggapai keridhaan Dzat yang telah melimpahkannya; yaitu Allah ta’ala (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5-6)
Para ulama menjelaskan, bahwa antara syukur dan pujian[al-hamdu] memiliki sedikit perbedaan. Syukur dilakukan sebagai tanggapan dan ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diberikan. Adapun pujian bisa saja muncul bukan karena nikmat atau pemberian namun karena kesempurnaan Dzat yang dipuji. Syukur diwujudkan melalui lisan dan perbuatan, sedangkan pujian hanya dalam bentuk ucapan lisan (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alusy Syaikh hafizhahullah, hal. 5)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Alhamdulillah adalah ucapan setiap orang yang bersyukur.” Abu Nashr al-Jauhari mengatakan, “Alhamdu/pujian adalah lawan dari celaan.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/29]).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma juga mengatakan, “Alhamdulillah adalah ucapan syukur. Apabila hamba mengucapkan alhamdulillah, Allah pun mengatakan, “Hamba-Ku telah bersyukur kepada-Ku.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/30])
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pujian itu ada dua macam: pujian atas kebaikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka itu adalah bagian daripada syukur. Lalu, pujian kepada-Nya atas sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 234, lihat juga Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 23-24)
Syukur lebih luas daripada sekedar mengucapkan alhamdulillah (pujian). Sebab syukur meliputi amalan hati, lisan, dan anggota badan. Namun, apabila dilihat dari sisi sebabnya pujian lebih luas daripada syukur. Karena Allah terpuji bukan hanya disebabkan nikmat yang dikaruniakan-Nya. Akan tetapi Dia juga terpuji karena kesempurnaan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya (lihat al-Is’ad fi Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 14)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun nikmat yang ada pada kalian adalah datang dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53)
Termasuk dalam bentuk nikmat -yang harus kita syukuri- adalah ketaatan yang telah kita lakukan. Ini semuanya adalah anugerah dan nikmat dari Allah. Bahkan, nikmat iman dan ketaatan ini adalah nikmat yang lebih agung daripada nikmat-nikmat keduniaan. Oleh sebab itu sudah semestinya kita senantiasa mensyukurinya (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah, hal. 8)
Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang tidak mengenali kenikmatan Allah terhadap dirinya selain urusan makanan dan minumannya, maka sungguh sedikit ilmunya dan telah datang adzab untuknya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 48).
Mensyukuri nikmat Allah -termasuk di dalamnya nikmat ketaatan- secara lisan adalah dengan menyandarkan nikmat-nikmat tersebut kepada Dzat yang telah memberikannya, memuji-Nya, dan tidak berpaling/menyandarkan nikmat itu kepada selain-Nya (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alusy Syaikh, hal. 5)
Adapun mensyukuri nikmat Allah dengan perbuatan, misalnya:
- Jika nikmat itu berupa harta, hendaklah mensedekahkan sebagian darinya, sebab dengan sedekah harta justru berkembang
- Jika nikmat itu berupa ilmu, hendaklah ilmu/kebaikan itu diajarkan kepada orang lain dalam rangka mencari pahala dan supaya orang lain bisa merasakan kebaikan sebagaimana yang telah dia rasakan, sebab tidaklah sempurna iman sampai kita mencintai kebaikan bagi saudara kita sebagaimana apa yang kita cintai untuk diri kita
- Jika nikmat itu berupa kesehatan maka hendaknya digunakan sebaik-baiknya dalam ketaatan dan mencari ridha Allah supaya tidak termasuk orang yang tertipu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang membuat banyak orang tertipu, yaitu kesahatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih al-Luhaidan hafizhahullah, hal. 3-4)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Allah ta’ala berfirman pula (yang artinya), “Betapa sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13).
Muhammad bin Ka’ab rahimahullah menjelaskan maksud ayat (yang artinya), “Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13). Kata beliau, “Hakikat syukur adalah bertakwa kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 65).
Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan: as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur itu?”. Aku menjawab, “Yaitu Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.” Lalu dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak muda.” (lihat al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 144)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya tentang makna zuhud di dunia, beliau menjawab, “Jika dia mendapatkan nikmat maka bersyukur dan jika dia mendapatkan cobaan musibah maka dia pun bersabar. Itulah zuhud.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/78])
Sabar Dalam Menghadapi Musibah
Sabar menempati kedudukan yang sangat agung di dalam Islam. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al-Mustafid [2/107 dan 109])
Sebelumnya patut untuk kita ketahui, bahwa pada dasarnya sabar itu mencakup sabar ketika tertimpa musibah dan juga sabar ketika mendapatkan nikmat. Sabar ketika mendapatkan nikmat maksudnya adalah tidak menggunakan nikmat itu kecuali dalam ketaatan. Termasuk di dalamnya adalah sabar dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya yang berkaitan dengan nikmat tersebut. Inilah sabar yang menjadi senjata untuk menangkal fitnah syahwat.
Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu berkata, “Kami diuji dengan kesulitan maka kami pun bisa bersabar, akan tetapi tatkala kami diuji dengan kesenangan maka kami tidak bisa bersabar.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 342)
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan [ilmu], sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Yang dimaksud sabar ketika tertimpa musibah adalah sebagaimana dikatakan oleh Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah. Beliau berkata, “Hakikat sabar adalah tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah (karena merasa tidak puas terhadap takdir, pent) maka hal itu tidaklah meniadakan kesabaran.” (lihat Syarh Muslim [3/7])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah melainkan dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya. Dan Allah terhadap segala sesuatu Maha Mengetahui.” (QS. at-Taghabun: 11).
‘Alqomah berkata tentang maksud ayat ini, “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, maka dia menyadari bahwa hal itu datang dari Allah, oleh sebab itu dia pun merasa ridha dan pasrah.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 345-346)
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)
Pengaruh Sabar dan Syukur
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sabar dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang disampaikan kepadanya. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/145])
Istighfar dan Taubat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar [39] : 53).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang rajin bertaubat dan (Allah) mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.” (QS. Al-Baqarah [2] : 222).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan-Nya. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Maa’idah [5] : 74).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, agar kalian berbahagia.” (QS. An-Nur [24] : 31).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari. Lihat dalam Riyadhush Shalihin, hal. 49-50 tahqiq Syaikh ‘Ali al-Halabi)
Dari al-Agharr bin Yasar al-Muzani radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim. Lihat dalam Riyadhush Shalihin, hal. 50 tahqiq Syaikh Ali al-Halabi)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah tenggelamnya niscaya Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Muslim. Lihat dalam Riyadhush Shalihin, hal. 50 tahqiq Syaikh ‘Ali al-Halabi)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum berada di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan. Lihat dalam Riyadhush Shalihin, hal. 51tahqiq Syaikh ‘Ali al-Halabi)
Abu Dzar radhiyallahu’anhu berkata, “Tidakkah engkau melihat umat manusia, betapa banyaknya mereka? Tidak ada yang baik diantara mereka kecuali orang yang bertakwa atau orang yang bertaubat.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 225)
Masruq rahimahullah berkata, “Semestinya seorang memiliki kesempatan-kesempatan khusus untuk menyendiri lalu mengingat-ingat dosanya dan memohon ampunan kepada Allah atasnya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [1/23])
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha, hal. 82)
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam syairnya,
Kulihat tumpukan dosa mematikan hati
Mengidapnya membuat diri bertambah hina
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Yang terbaik untukmu tentu mencampakkannya
(lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 32)
Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang yang beristighfar namun dimurkai. Dan betapa banyak orang yang diam namun dirahmati.” Kemudian beliau menjelaskan, “Orang ini beristighfar, akan tetapi hatinya diliputi kefajiran/dosa. Adapun orang itu diam, namun hatinya senantiasa berzikir.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 69)
Habib Abu Muhammad rahimahullah berkata, “Salah satu tanda kebahagiaan bagi seorang hamba adalah apabila dia mati maka ikut mati pula dosa-dosanya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 361)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku terhalang dari melakukan sholat malam selama lima bulan gara-gara sebuah dosa yang pernah aku lakukan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 361)
Sumber: abu0mushlih.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar