Cintanya masih saja mekar. Pancarannya menawan dari pelupuk mata.
Juga agung dari balik hatinya yang teduh. Ia masih saja diam. Bibirnya
terkatup rapat, pita suaranya terkunci. Hanya sesekali ia tersenyum
lewat matanya yang teduh.
Pencarian belum juga selesai. Apalagi setelah cinta itu berusaha
dikuburnya dalam sepi. Tak ada jawaban lagi untuknya. Mungkin hanya
bersama sepi ia merajuk kebersamaan. Bersama dalam sepi adalah
keabadian. Kegaduhan tak lagi dirisaukannya. Apalagi hiruk pikik tentang
harga bawang, tak bisa mengusiknya sedikit pun.
Prosa selalu menyediakan makna terdalam, katanya. Juga puisi masih
memikat. Sebab kerjaan para penyair telah menghipnotisnya untuk terus
bermelankolis. Apalagi ia merasa puisi-puisi sang penyair telah
bercerita mewakili seluruh pengalamannya. Mendayu-dayu dan beromantika
mengenang suatu masa. Masa yang telah merampok hampir seluruh cerita
hidupnya. Tentang cinta yang tak terbalas.
Namun kali ini ia memberanikan diri tuk menyapa para filsuf. Dengan
pikiran-pikirannya yang menggelitik. Melihat dunia ini sejak ia berada
dalam kandungan. Bahkan telah diprediksi akhir dari perjalanan hidup.
Ia menggauli setiap teori. Mengawini setiap pemikiran dengan pengalaman.
Mengurai dengan bahasanya sendiri untuk kemudian disimpulkan. Bukan
untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya dan sepi.
Batin bergejolak mencari jawaban. Tentang cinta yang masih saja
mekar. Pada siapa dan untuk siapa, ia berusaha tuk tidak bergeming.
Akal semakin terombang-ambing. Pemikiran-pemikiran telah membuka
wawasannya. Puisi-puisi telah mendamaikan hatinya. Tetapi tetap saja
bibirnya terkunci.
Ia tidak lelah tetapi memutuskan berhenti.
“Mengapa harus membiarkan akal terombang-ambing menyoalkan harkat ke-kita-an dalam harkat ke-aku-an?”
Ia tertidur bersama sepi. Dan malam menghadirkan mimpi; Ia mengawini sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar