"Ternyata orang berkerudung besar itu kemproh ya? Aroma rumahnya popok
pesing plus berantakan. Nggak jadi ngajilah saya kalau gitu,
jangan-jangan nanti saya ketularan!".
Komentar sinis dan nyinyir
ini, dilontarkan seorang ibu ketika mendapati rumah tetangganya, yang
rajin ngaji ke masjid, jauh dari berseri (bersih, sehat, rapi, indah).
Sebenarnya si ibu itu tertarik mengikuti pengajian. Sebagai upaya
penjajakan dan silaturrahmi ia coba berkunjung ke rumah salah satu
peserta pengajian. Dan ternyata, ia mendapat kesan tak nyaman. la pun
kecewa.
Memang penilaian ini terasa kurang adil, mengingat si ibu yang kecewa ini baru menyambangi satu rumah saja.
Tapi
apa boleh buat, ternyata ia juga sering mendengar cerita miring tentang
keseharian mereka yang berkerudung besar. Generalisasi "orang kerudung
besar kemproh (jorok dan ceroboh) itu ia pakai, karena ia juga
mengamati, tamu yang sering bertandang ke rumah tetangganya itu, umumnya
juga berkerudung besar.
Ironis!
Kejadian di atas benar
adanya. Tak perlu dipersoalkan generalisasinya, yang perlu diperhatikan
justru bagaimana cap miring itu bisa muncul?
"Kebersihan sebagian
dari iman" adalah sebaris pesan populer. Hampir tak ada yang tak
mengenal pesan itu. Meski bukan hadits, isinya sejalan dengan hadits
berikut: "Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang
suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Mahamulia yang
menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu
bersihkanlah tempat-tempatmu." (HR. Tirmizi)
Jadi, bersih itu
bagian dari sunnah. Lalu, mengapa para Muslimah berjilbab besar, salah
satu kelompok yang paling semangat untuk kembali pada dan mengamalkan
sunnah, justru bisa memperoleh cap kemproh? Mungkin berawal dari
persepsi tentang bersih yang berbeda-beda. Standar bersih memang relatif
bagi setiap orang. Menyapu lantai, misalnya. Sebagian ummahat
beranggapan lantai baru bersih bila seluruh permukaannya tersapu rata.
Dari bawah kursi, ranjang, lemari, kulkas, mesin cuci (bila ada) sampai
ke bawah rak piring. Tak ada yang luput.
Namun bagi sebagian yang
lain, cukuplah jika menyapu yang tampak. Tak perlu "mengutikutik dunia
bawah" pun sudah dianggap bersih. Begitu pula mencuci baju, menyapu
pekarangan, mencuci piring hingga urusan pribadi seperti menata baju di
lemari hingga menjaga penampilan. Masing-masing punya "gaya" sendiri.
Mungkin beda gaya dan standar bersih inilah yang membuat si ibu di awal
kisah ini menjadi kecewa.
Dalam Islam, memang ditekankan soal
thuhur (suci). Yaitu suci dari najis dan hadats. Hal ini menjadi
syaratsahnya ibadah, khususnya ibadah mandhoh. Mungkin ummahat bisa
membela diri dengan alasan kesibukan dan rewelnya anak-anak, tapi karena
itu najis, maka tak bisa diabaikan. Kebiasaan peka pada kebersihan
memang tak bisa diwujudkan seketika. Kebiasaan itu terbentuk sejak kita
masih diasuh keluarga. Juga ada pengaruh dari lingkungan.
Kebiasan
peka pada kebersihan memang bukan hal yang dimiliki setiap orang. Namun
bukan berarti, kita tak bisa menjadikannya sebagai bagian dari
karakter. Manusia mem iliki segala kemampuan untuk berubah. Intinya ada
pada tekad dalam diri kita. Masing-masing kita membawa identitas
Muslimah, kekurangan kita bisa menjadi label buruk bagi Muslimah lain.
Apalagi, bagi mereka yang masih asing, bahkan memusuhi, para aktivis
Islam. Setiap kekurangan yang kita tampilkan akan membuka celah untuk
menjatuhkan "izzah" sebagai Muslimah. Maka, berusahalah untuk selalu
BERSERI
Sumber: http://streamingnurisfm.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar