Hidup terus berputar
bagaikan roda pedati. Ada yang datang dan ada pula yang pergi, ada suka
dan duka yang kesemua itu merupakan ketetapan sang Maha Pencipta. Dunia
adalah tempat persinggahan sementara dalam perjalanan menuju akhirat.
Oleh karenanya, sepantasnyalah bagi kita mempersiapkan bekal untuk
perjalanan panjang tersebut.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.(QS. Al-Baqarah: 197).
Begitu pula jika ketika
kita hendak melakukan perjalanan di suatu tempat, maka kita harus
mempersiapkan bekal. Bekal yang paling utama yang harus di miliki oleh
seseorang ketika hendak melakukan suatu perjalanan adalah ilmu. Supaya
perjalanannya bisa mendapatkan ridho Allah dan tetap di atas tuntunan
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Pembaca yang budiman,
safar (perjalanan jauh) tidak bisa lepas dari kehidupan seseorang. safar
merupakan suatu kebutuhan manusia, seperti haji, umrah, menuntut ilmu,
berbisnis, silatirahmi dengan kelurga, tugas dakwah dan kewajiban
lainnya yang mengharuskan adanya safar. Allah -Subhana Wa Ta’ala- tidak
membiarkan hambanya hanya asyik berdiam diri di mesjid untuk beribadah
kepada-Nya, namun sebaliknya memerintahkan untuk segera menyebar di muka
bumi. Allah -Azza Wa Jalla- berfirman,
“Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.( QS. Al-Jumu’ah :10)
Bahkan ada manusia yang
menggantungkan hidupnya di atas roda kendaraannya dalam mencari
nafkahnya dengan melakukan safar kemana-mana, seperti supir bus antar
daerah, pilot pesawat dan lainnya. Mereka menghabiskan waktunya dalam
safar sehingga mereka sangat membutuhkan ilmu syar’i agar bisa
menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Bijaksana telah menyempurnakan agamanya dan telah menetapkan
beberapa aturan ketika sesorang bersafar. Allah -Ta’ala- memberi
dispensasi bagi orang yang bersafar dibanding orang yang mukim dalam
melaksanakan kewajiban. Oleh sebab itu, pada edisi kali ini kami akan
sajikan beberapa adab ketika bersafar sehingga safar kita bisa bernilai
ibadah.
1. Anjuran berpamitan bagi orang yang hendak bepergian.
Ketika sseseorang hendak
bepergian, dianjurkan untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan
kawan-kawan. Sebab Allah menjadikan berkah di dalam doa mereka. Inilah
sunnah yang banyak dilupakan oleh kaum muslimin pada hari ini, yaitu
melepas kepergian dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Qoza’ah berkata, “Ibnu umar pernah berkata
kepadaku,’ marilah kulepas kepergianmu sebagaimana Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melepas kepergianku,
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan penuntup amalmu”.[HR. Abu Dawud (2600). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 14)]
Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- menjadikan agama dan amanah seseorang
sebagai titipan, karena di dalam safar seseorang akan tertimpa rasa
berat, dan takut sehingga hal itu menjadi sebab tersepelekannya sebagian
perkara-perkara agama. Lantaran itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- mendoakan kebaikan bagi orang yang safar berupa bantuan dan
taufiq.
Seseorang dalam safarnya tersebut tak akan lepas dari kegiatan yang ia perlukan di dalamnya berupa mengambil dan memberi sesuatu, bergaul dengan manusia. Karena itulah, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakannya agar dipelihara sifat amanahnya, dan dijauhkan dari sifat khianat. Kemudian, jika ia kembali kepada keluarganya, maka akhir urusannya aman dari sesuatu yang membuatnya buruk dalam perkara agama dan dunianya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidziy (8/338)]
Seseorang dalam safarnya tersebut tak akan lepas dari kegiatan yang ia perlukan di dalamnya berupa mengambil dan memberi sesuatu, bergaul dengan manusia. Karena itulah, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakannya agar dipelihara sifat amanahnya, dan dijauhkan dari sifat khianat. Kemudian, jika ia kembali kepada keluarganya, maka akhir urusannya aman dari sesuatu yang membuatnya buruk dalam perkara agama dan dunianya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidziy (8/338)]
Inilah hikmahnya
seseorang saling mendoakan saat seseorang bepergian. Selain itu,
berpamitan juga memiliki manfaat lain, yaitu ia merupakan kesempatan
untuk memberi wasiat, pesan, dan lainnya. Sebab banyak orang yang pergi,
dan tak diketahui lagi rimbanya sehingga putuslah hubungan silaturahim,
atau lainnya.
2. Makruh hukumnya seseorang bepergian sendiri.
Islam menyerukan kepada
pemeluknya untuk senantiasa bersatu dan berjama’ah, bukan berpecah
belah. Begitu pula ketika bersafar dianjurkan untuk berjama’ah dan
berombongan. Oleh karena itu, jika seseorang ingin melakukan suatu
perjalanan, maka hendaklah ia mencari teman-teman dalam perjalanan dan
jangan ia pergi seorang diri. Sebab dalam perjalanan banyak ditemukan
kesusahan, bahaya, dan penderitaan.
Al-Khoththobiy -rahimahullah- berkata, “Orang
yang bepergian sendiri, andaikan ia meninggal, maka tidak ada yang
memandikannya dan menguburkannya serta mengurus segala sesuatunya. Juga
tidak ada orang yang bisa menerima wasiatnya untuk mengurus harta
bendanya dan membawanya kepada keluarganya serta tidak ada yang memberi
kabar kepada keluarganya. Tidak ada orang yang membantu membawa
perbekalannya selama perjalanannya. Sedangkan jika ia pergi bertiga atau
berombongan, maka mereka bisa saling membantu, bahu-membahu, berbagi
tugas, bergiliran jaga, melaksanankan shalat secara berjama’ah dan
memperoleh bagian dari berjama’ah.”[Lihat ‘Aunul Ma’bud (7/125) cet.Daar Ihya' At-Turats Al-Arabiyyah.]
Lantaran itu, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang seseorang untuk bepergian sendiri dalam sabdanya,
لَوْ يَعْلَمُ اْلنَّّاسُ مَا فِيْ اْلوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Andaikata
manusia mengetahui apa (bahaya) kesendirian sebagaimana yang kuketahui,
niscaya tidak ada seorang pengendara pun yang akan berjalan di malam
hari dalam keadaan seorang diri. ” [HR. Al-Bukhoriy (no. 2998). ]
Larangan dalam hadits
ini mencakup pengendara maupun pejalan kaki. Penyebutan pengendara dalam
hadits ini disebabkan karena kebanyakan orang yang bepergian itu
memakai kendaraan. Larangan ini pula berlaku pada waktu malam maupun
siang hari. Sebab disebutkan dalam hadits ini pada waktu malam, karena
malam hari lebih rawan kejahatan dan lebih besar resikonya.
3. Anjuran untuk menunjuk ketua rombongan dalam sebuah perjalanan
Tatkala melakukan safar
secara berombongan maka ia memiliki keterikatan diantara banyak orang.
Oleh karenanya, dianjurkan bagi orang yang bepergian secara berombongan
dan yang berjumlah tiga atau lebih, agar menunjuk salah seorang dari
mereka sebagai ketua rombongan. Tugasnya ialah memimpin dan mengurus
segala sesuatu untuk kepentingan mereka bersama. Keputusannya harus
dipatuhi oleh seluruh anggota rombongan dengan syarat tidak
memerintahkan berbuat maksiat kepada Allah. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ,
“Apabila ada tiga
orang yang keluar dalam sebuah perjalanan, maka hendaklah mereka
menunjuk salah satu dari mereka menjadi amir(ketua rombongan).”[HR. Abu Dawud (2608). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 1322)]
4. Larangan membawa anjing dan lonceng dalam perjalanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,
“Malaikat tidak mau menemani rombongan yang di dalamnya terdapat anjing dan tidak pula lonceng.”[HR. Muslim dalam Kitab Al-Libas wa Az-Zinah (no. 2113)]
Dalam hadits ini dengan
tegas menyatakan larangan membawa anjing dan lonceng ketika bersafar.
Sebab akan menghalangi para malaikat menyertai rombongan safar dalam
perjalanannya. Hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits yang lain seperti
sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang anjing,
“Para malaikat tidak masuk pada suatu rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.”[HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (3075) Muslim Shohih-nya (3929)]
Adapun sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang lonceng, karena lonceng adalah
seruling setan. Hal ini dengan jelas dikatakan oleh Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
“Lonceng adalah seruling setan.”[HR. Muslim dalam Kitab Al-Libas wa Az-Zinah (2114)]
Jika para malaikat
menjauh dari rombongan, maka hal itu akan menyebabkan keberkahan juga
hilang karena melakukan larangan dan juga membawa lonceng. Lalu
bagaimana pula dengan orang yang bersafar dengan membawa alat-alat musik
atau mendengarkan musik dari awal safarnya sampai ke tujuan? Para
malaikat tentu akan lebih menjauh lagi.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam mengharamkan musik,
“Akan ada beberapa kaum diantara ummatku yang akan menghalalkan zina, kain sutera (bagi laki-laki), khomer, dan musik“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (5590), dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4039)]
Hendaknya safar yang
kita lakukan bersih dari anjing, lonceng, musik, dan segala sesuatu yang
dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla-.
5. Larangan bepergian tanpa ada mahram bagi wanita.
Di dalam syariat Islam,
seorang wanita tidak boleh bersafar tanpa disertai oleh mahramnya. Sebab
hal itu akan menimbulkan fitnah (malapetaka) bagi dirinya dan para
lelaki yang ada disekelilingnya. Dengan adanya mahram bagi wanita ketika
bersafar, mak ia akan terlindungi dan terawasi serta ada yang
mengontrolnya. Sebab orang yang berhati busuk itu banyak dan orang yang
matanya jelalatan itu jauh lebih banyak lagi. Oleh karenanya, Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
bepergian sepanjang sehari semalam tanpa ditemani mahram.“ [HR. Al-Bukhari(1088)]
Bahkan Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- pernah mendengar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Jangan sekali-kali
seorang lelaki berada di tempat yang sepi dengan seorang wanita, dan
jangan sekali-kali seorang wanita safar (bepergian jauh), kecuali
bersama mahramnya.”
Kemudian ada seorang
lelaki berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku sudah mendapat tugas
dalam perang begini dan begini,sementara istriku pergi haji. Beliau
lantas bersabda,”Berangkatlah pergi haji berrsama istrimu!!”. [HR.Al-Bukhari (3006)]
Hadits diatas adalah
dalil yang paling tegas menunjukkan haramnya seorang wanita bersafar
tanpa ada mahram yang meyertainya. Sebab Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- lebih mendahulukan sahabatnya untuk menemani istrinya pergi berhaji daripada ikut berperang.
Al-Imam Abu ZakariyaAn-Nawawi -rahimahullah- berkata,”Tindakan
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut mengandung konsep
mendahulukan yang lebih penting diantara hal-hal yang bertentangan.
Tatkala kepergiannya di medan perang bertabrakan dengan kepergian
istrinya menunaikan ibadah haji, maka didahulukanlah ia untuk menemani
istrinya. Sebab tugas di medan perang dapat digantikan oleh orang lain,
sedang menemani istri pergi haji tidak bisa digantikan oleh siapapun.”[Lihat Al-Minhaj Syarah Shohih Muslim (9/93)]
Sumber: abul-harits.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar