“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid
Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah
orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, serta tetap mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah,
maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah [9]: 17-18)
Mukaddimah
Abdullah bin Abbas menceritakan, ayat ini turun terkait Abbas bin Abdul
Muththalib –yang masih musyrik saat itu- ikut tertawan dalam perang
Badar bersama musyrikin Makkah. Ketika itu orang-orang Islam lalu
datang mencela karena mereka berani memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang berujung kepada putusnya tali kerabat di antara mereka.
Menanggapi hal itu Abbas lalu menyanggah, “Kalian ini hanya mampu
menyebut kejelekan dan keburukan kami, sedang kalian tak pernah menilai
bahkan menyembunyikan kebaikan yang juga ada pada diri kami.”
Mendengar hal itu para Sahabat terlonjak kaget, “Benarkah kalian juga
memiliki kebaikan?” Abbas bin Abdul Muththalib menjawab, “Sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang memakmurkan Masjidil Haram, merawat Ka’bah,
dan memberi minum para jamaah haji, serta membebaskan para budak dan
tawanan.”
Atas celoteh Abbas bin Abdul Muththalib itulah, Allah merespon dengan
menurunkan ayat tersebut. (Tafsir al-Munir, Wahbah bin Musthafa
az-Zuhaili)
Makna Ayat
Ayat ini secara tegas menafikan klaim orang-orang di luar Islam yang
terkadang mengaku berbuat baik. Terlebih jika mereka mengaitkan kebaikan
itu dengan masjid sebagai rumah Allah sekaligus pusat ibadah bagi kaum
Muslimin. Sebab, kebaikan itu bersumber dari keimanan sebagai syarat
utama sebuah amalan. Sedang kaum musyrikin –dalam ayat ini- justru
mengakui sendiri jika mereka adalah kumpulan orang-orang kafir. Suatu
kondisi yang hanya menguatkan posisi mereka sebagai penghuni neraka
akibat amalan-amalan mereka yang tertolak.
Memakmurkan Masjid
Masjid yang makmur adalah dambaan setiap Muslim. Bagi orang yang pernah
menunaikan haji di Baitullah, tentu merasakan pengalaman spiritual yang
sangat berkesan ketika shalat di Masjidil Haram. Suasana masjid begitu
khusyuk dengan jumlah jamaah yang membludak. Kesakralan masjid yang
didukung dengan arsitektur yang sangat megah menjadikan setiap umat
Islam harus menanggung rindu dan berharap kapan lagi bisa shalat dengan
suasana seperti itu.
Lebih jauh, mufassir ternama Imam at-Thabari menerangkan, perintah
memakmurkan masjid tak cukup dengan pengertian bahasa saja. Yaitu
membangun masjid dengan megah atau menjaga kebersihan bangunannya. Lebih
dari itu, memakmurkan masjid adalah upaya setiap Muslim mendatangi
masjid minimal lima kali sehari semalam. Sebab, begitulah syarat utama
dalam memakmurkan masjid. Inilah dua makna memakmurkan masjid yang harus
berjalan beriringan yang menjadi tanggungjawab atas setiap pribadi
Muslim.
Sebuah bangunan masjid yang megah hanya menyisakan pemandangan indah,
jika masjid itu kosong dari orang-orang yang menegakkan shalat berjamaah
di dalamnya. Ia hanya potret bangunan bisu, jika ternyata masjid itu
senyap dari kegiatan taklim dan pembinaan umat. Sebaliknya, kekhusyukan
shalat jadi terganggu kalau rumah Allah itu tidak tersentuh perawatan
yang baik. Upaya pencerahan umat bisa ternoda hanya karena masalah
kebersihan masjid yang tidak beres.
Masjid Tanda Kebaikan
Lewat ayat ini, Allah memberi tuntunan praktis dalam menentukan
orang-orang baik di sekitar kita. Hal ini penting, sebab pada dasarnya
kodrat manusia tercipta sebagai makhluk sosial. Manusia adalah lemah dan
sangat bergantung kepada orang lain dan lingkungannya. Memilih teman
dan lingkungan menjadi perkara mendasar, sebab ia berandil kuat kepada
pembentukan karakter orang-orang yang berada di sekitarnya. Oleh karena
itu, Nabi bersabda, “Jika kalian melihat orang yang senantiasa datang ke
masjid, maka persaksikanlah sesungguhnya ia memiliki modal iman,”
(Riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmidzi).
Keimanan yang produktif (iman nafi’) dalam jiwa seorang Muslim
niscaya melahirkan kebaikan-kebaikan. Sedang ciri utama kebaikan itu
tergambar lewat ibadah shalatnya sebagai pokok amalan yang pertama kali
dihisab kelak.
Dalam rumus Islam, kebaikan berupa shalat niscaya mampu menghasilkan
sekian banyak kebaikan berikutnya. Sebab, shalat yang benar bisa menjadi
tameng dalam menolak kemungkaran yang ada di sekitarnya. Sekaligus ia
berfungsi sebagai motivator dalam menyeru kepada amalan-amalan makruf
yang lain.
Amru bin Makmun al-Audi menambahkan, “Saya hidup bersama beberapa
orang Sahabat Nabi, sedang mereka berkata, ‘Sesungguhnya masjid-masjid
itu tidak lain adalah rumah-rumah Allah di dunia. Maka tentunya
kewajiban Allah untuk memuliakan siapa saja tamu yang datang berkujung
ke rumah-Nya.’ (Tafsir Ibnu Katsir, Abu al-Fida Ismail bin Katsir).
Masjid, sekali lagi menjadi solusi pertama dalam mengurai
permasalahan umat Islam saat ini. Masjid adalah sentral dari seluruh
kebaikan masyarakat yang ada. Sebagaimana lingkungan yang baik juga
tercermin dari masjid yang ada di sekitar wilayah itu. Jika masjidnya
ramai dengan jamaah yang shalat lima waktu, niscaya orang-orang dan
lingkungan masjid itu ikut menjadi baik pula.
Sebaliknya jika masjidnya kosong dari jamaah, maka kita patut heran,
kebaikan apa lagi yang dicari selain tumpukan kebaikan yang menanti
dalam masjid.
Berburu Hidayah Allah
Bagi seorang Muslim hidayah adalah persoalan nomor satu dalam kehidupan
ini. Apalah arti kekayaan dan kesehatan jika orang itu tak beroleh
hidayah dari Allah. Apalah arti jerih payah di dunia ini kalau pelaku
perbuatan itu tak mengawalinya dengan petunjuk Allah. Sejarah telah
membuktikan, kurang apa amalan Abu Thalib dalam menolong dakwah Islam.
Seluruh keuntungan perniagaannya ia serahkan semuanya untuk membantu
langkah dakwah Nabi yang ketika itu masih terseok di kota Makkah.
Pengorbanan apa lagi yang belum dilakukan oleh sang paman tersebut
kecuali ia belum merasakan manisnya hidayah Allah. Alhasil, semua yang
dilakukan tanpa didasari iman dan hidayah hanya berujung kepada
penderitaan dan penyesalan seumur hidup saja.
Keimanan itu lahir setelah datangnya hidayah, sebagaimana ia bisa
eksis jika orang tersebut masih mendapatkan curahan hidayah dari Allah
Sang Pemberi petunjuk. Di penghujung ayat ini Allah Ta’ala memberikan
garansi “mulia” bagi orang-orang yang senantiasa memakmurkan masjid.
Hidayah yang selama ini menjadi dambaan setiap Muslim rupanya bisa
diraih dengan menegakkan shalat berjamaah di masjid.
Imam as-Sa’di mengomentari, kata ’asa yang berarti semoga (terjadi)
jika disandarkan kepada Allah, maka ia bermakna suatu hal yang wajib
terlaksana. Jika ada yang bertanya, bagaimana cara merawat iman dan
hidayah yang ada pada diri ini?
Maka jawabannya sederhana saja, peliharalah shalat lima waktu secara
berjamaah di masjid. Niscaya Allah tak sungkan mencurahkan hidayah-Nya
kepada orang-orang yang memakmurkan rumah-Nya. *Masykur, pengajar
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Balikpapan
SUARA HIDAYATULLA, MARET 2012
Sumber: majalah.hidayatullah.com
setuju sekali dengan artikelnya
BalasHapusvolume bucket excavator pc200